Jumat, 08 April 2016

UN DARI MASA KE MASA

Ganti menteri, ganti kebijakan. Pemeo itu tak asing di masyarakat. Setiap rezim pemerintah berganti, jamak pula berlangsung perubahan kebijakan. Ada perubahan yang tidak langsung dirasakan masyarakat, tetapi ada pula yang berdampak langsung. Salah satu kebijakan dalam dunia pendidikan yang berdampak langsung adalah ujian nasional.

Ujian nasional (UN) adalah salah satu indikator standar nasional pendidikan. UN bersama tujuh indikator, antara lain Uji Kompetensi Guru (UKG), Indonesia National Assessment Program (INAP), dan Programme for International Student Assessment (PISA), digunakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai alat ukur untuk menetapkan kriteria minimal sistem pendidikan di Indonesia.

Jika UKG adalah ukuran kemampuan pedagogik dan kompetensi keilmuan guru yang menjadi acuan standar pendidikan dan tenaga kependidikan, UN menjadi indikator standar kompetensi lulusan. Standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

UN sebagai ujian akhir dari satu jenjang pendidikan formal, terutama pada tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), pernah mengalami beberapa kali perubahan nama dan sistem. Dinamika sistem ujian akhir tersebut tercatat berlangsung sejak pertama kali dicanangkan ujian secara nasional pada 1965.
Tak dapat dimungkiri, UN menjadi momok. Tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi guru. Sejak lama UN menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan siswa dan guru.

Model Orde Lama
Pelaksanaan ujian akhir bagi peserta didik bermula dari terbitnya peraturan tentang sistem pendidikan nasional. Peraturan yang pertama kali meletakkan dasar keberpihakan pemerintah terhadap dunia pendidikan adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia.

Antara tahun 1950 dan 1960-an Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan menyelenggarakan ujian penghabisan secara nasional. Soal dibuat terpusat di tingkat nasional dan berbentuk esai. Pemeriksaan hasil ujian dilakukan di pusat rayon yang ditentukan. Hasil ujian tidak dapat diketahui segera karena proses pemeriksaan dan pengolahan cukup makan waktu.

Pada masa Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama (1959-1965) perundangan tentang pendidikan diubah menjadi Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Penetapan Presiden ini merevisi Keputusan Presiden RI Nomor 145 Tahun 1965 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam aturan itu, ujian akhir dilaksanakan secara nasional. Saat pertama diberlakukan, ujian akhir tersebut dikenal dengan nama ujian negara. Soal dibuat secara nasional dan berlaku secara nasional di seluruh pelosok Indonesia. Semua mata pelajaran diujikan. Pemerintah pusat memegang kewenangan penuh atas penyelenggaraan ujian akhir tersebut.
content
Peserta didik yang mengikuti ujian negara akan diberikan surat tanda tamat belajar (STTB). Akan tetapi, STTB bukan penanda seseorang lulus ujian akhir. Surat tanda lulus baru diberikan jika peserta didik dinyatakan lulus ujian negara.
Saat itu, tingkat kelulusan rendah karena penentu kelulusan ada di tingkat pusat. Padahal, tidak semua sekolah dan guru memiliki standar kualitas yang sama. Terjadi kesenjangan yang lebar antara sekolah-sekolah yang terletak di pusat pemerintahan dan sekolah yang berlokasi jauh dari jangkauan pengembangan pendidikan.

Orde Baru

Di masa Orde Baru, dilakukan perubahan terhadap sistem pelaksanaan ujian akhir. Terjadi perubahan mendasar dari ujian akhir yang sebelumnya dikelola secara terpusat menjadi mandiri. Ujian negara berubah menjadi ujian sekolah. Sekolah diberi kewenangan menyelenggarakan ujian akhir dan menentukan kelulusan peserta didik. Pembuatan soal dan proses pemeriksaan hasil ujian ditentukan dan diselenggarakan oleh sekolah. Tingkat kelulusan meningkat seketika, tetapi tidak dapat dibuat perbandingan dan batas nilai kelulusan secara umum karena tingkat kesulitan ujian di masing-masing sekolah berbeda.

Dalam pelaksanaan ujian sekolah yang berlangsung antara tahun 1972 dan 1979, pemerintah pusat hanya berperan mengeluarkan pedoman atau kebijakan umum sebagai rambu-rambu pelaksanaan ujian akhir di seluruh Indonesia. Pedoman tersebut juga berfungsi sebagai pengendali mutu pendidikan agar nilai yang diperoleh peserta didik bermakna sama secara nasional sehingga dapat dijadikan bahan perbandingan antarsekolah.

Pada 1980 kembali dilakukan perubahan terhadap sistem ujian akhir. Saat itu diberlakukan dua model ujian, yaitu evaluasi belajar tahap akhir (EBTA) dan evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas). Jika dalam penyelenggaraan EBTA sekolah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi, untuk pelaksanaan Ebtanas sekolah berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Tujuan Ebtanas adalah untuk mengendalikan, mengevaluasi, dan mengembangkan mutu pendidikan.

Kelulusan siswa dalam sistem ujian akhir yang berlaku hingga tahun 2000 ini memadukan kombinasi hasil EBTA dan Ebtanas ditambah nilai ujian harian dalam rapor. Siswa dinyatakan lulus jika angka rata-rata semua mata pelajaran minimal enam. Dalam masa ini diberlakukan nilai ebtanas murni (NEM) dari sejumlah mata pelajaran yang diujikan secara nasional. NEM menjadi prasyarat untuk seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

UAN dan UN

Memasuki tahun 2001, sistem Ebtanas tidak berlaku lagi. Diterapkan sistem penilaian hasil belajar secara nasional melalui ujian akhir nasional (UAN). Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bertanggung jawab terhadap pembuatan soal ujian. Siswa yang tidak lulus UAN mendapat kesempatan mengikuti ujian ulang satu minggu setelah penyelenggaraan UAN utama.

Perbedaan menonjol dari sistem yang berlaku hingga tahun 2004 ini adalah nilai kelulusan siswa berdasarkan nilai setiap mata pelajaran. Pada 2002, penentu kelulusan adalah nilai minimal setiap mata pelajaran. Tahun berikutnya, yang menentukan nilai kelulusan adalah nilai mata pelajaran yang diujikan minimal 3,01 dan nilai rata-rata keseluruhan mata pelajaran minimal 6,0. Adapun nilai kelulusan tahun 2004 dinaikkan menjadi 4,01 untuk tiap mata pelajaran tanpa ada nilai rata-rata minimal.
Pada 2005, sistem ujian akhir berubah dari UAN menjadi ujian nasional (UN). Seperti UAN, standar nilai kelulusan UN setiap tahun berbeda dan terus meningkat. Di tahun itu, nilai minimal kelulusan adalah 4,25 untuk tiap mata pelajaran. Siswa dapat mengulang ujian hanya pada mata pelajaran yang tidak lulus. Standar ini berlaku hingga tahun berikutnya disertai tambahan syarat, nilai rata-rata semua mata pelajaran lebih dari 4,50. Namun, sejak tahun 2006, peserta UN yang tidak lulus tidak dapat mengulang.
Standar nilai kelulusan naik setiap tahun hingga mencapai nilai rata-rata minimal 5,50 untuk semua mata pelajaran pada tahun 2010 dengan nilai minimal 4,0 pada dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lain. Jumlah mata pelajaran yang diujikan pun bertambah. Standar tersebut diberlakukan hingga kini.
 
Sistem baru

Memasuki era menteri baru, Kemdikbud kembali meluncurkan kebijakan baru terkait sistem ujian akhir. Pada 2015, UN tidak lagi menjadi tolok ukur standar kelulusan siswa. Tidak ada yang tidak lulus sekolah karena UN. Kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Jika ada yang dipandang belum pantas lulus, siswa yang bersangkutan akan tetap tinggal kelas.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengajak semua pihak mengubah cara pandang terhadap UN. Sistem yang menguji kompetensi siswa itu tak sekadar soal nilai dan hasil kelulusan. Hal itu lebih bermanfaat sebagai alat ukur untuk peningkatan mutu pendidikan. Pelaksanaan UN dibenahi untuk meminimalkan praktik kecurangan agar hasilnya menggambarkan kemampuan peserta didik sebenarnya. Seiring dengan itu, UN tahun ini menjadi ajang percobaan pelaksanaan ujian daring dengan memanfaatkan komputer atau computer based test (CBT).

Untuk kebijakan sistem ujian akhir, Kemdikbud bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mematangkan konsep pelaksanaan UN, antara lain mengganti istilah UN menjadi evaluasi nasional (EN). Pengertian EN lebih luas daripada sekadar ujian dengan tujuan dapat menjadi umpan balik bagi penyelenggaraan pendidikan secara umum. EN berfungsi untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, kecuali masuk perguruan tinggi.

Harapan yang disematkan adalah agar perubahan sistem ujian akhir termutakhir ini tidak kembali "merepotkan" masyarakat untuk memahami dan menyesuaikan dengan sistem baru. Dengan demikian, harapan atas hadirnya sistem pendidikan yang lebih mengayomi kepentingan rakyat sekaligus meraih tujuan membina insan Indonesia yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia bisa semakin mendekati realita.

 sumber: KOMPAS-LITBANG

0 komentar:

Posting Komentar

PENERIMAAN SISWA BARU

Yayasan Pendidikan Dan Sosial Pondok Pesantren Menerima Pendaftaran Siswa Baru Mulai Pertengahan Mei 2016, Untuk Tahun Ajaran 2016-2017 Jenjang Pendidikan : SMP Berbasis Pesantren Hidayatus Saalikin, Madrasah Aliyah Juga Umum ( SMK-SMA) Dengan ketentuan mentaati dan patuh pada tata tertib Pondok Pesantren...... BACA SELENGKAPNYA