1. SAYYIDINA ALI TELAT SHOLAT SHUBUH BERJAMA'AH
Dini hari itu Ali bin ABi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru Kota Madinah.Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.
Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.
Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.
Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”
Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”
“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engaku rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”
Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”
Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”
Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi saw., “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat.
2. SAYYIDINA ALI BERSAMA 2 ORANG MALAIKAT
“Wahai perempuan mulia, adakah makanan yang bisa kau berikan kepada
suamimu ini?” tanya Ali kepada istrinya.“Demi Allah, aku tidak mempunyai
apapun. Hanya enam dirham ini, ongkos dari Salman karena aku telah
memintal wol,” jawabnya. “Uang ini ingin aku belikan makanan untuk (anak
kita) Hasan dan Husain.”
“Bawa kemari uang itu.” Fathimah segera
memberikannya dan Ali pun keluar membeli makanan.Tiba-tiba ia bertemu
seorang laki-laki yang berdiri sambil berujar, “Siapa yang ingin
memberikan hutang (karena) Allah yang maha menguasai dan mencukupi?”
Sayyidina Ali mendekat dan langsung memberikan enam dirham di tangannya
kepada lelaki tersebut.Fatimah menangis saat mengetahui suaminya pulang
dengan tangan kosong. Sayyidina Ali hanya bisa menjelaskan peristiwa
secara apa adanya.
“Baiklah,” kata Fathimah, tanda bahwa ia menerima
keputusan dan tindakan suaminya.Sekali lagi, Sayyidina Ali bergegas
keluar. Kali ini bukan untuk mencari makanan melainkan mengunjungi
Rasulullah. Di tengah jalan seorang Badui yang sedang menuntun unta
menyapanya.
“Hai Ali, belilah unta ini dariku.””Aku sudah tak punya uang
sepeser pun.”“Ah, kau bisa bayar nanti.”“Berapa?”“Seratus
dirham.”Sayyidina Ali sepakat membeli unta itu meskipun dengan cara
hutang. Sesaat kemudian, tanpa disangka, sepupu Nabi ini berjumpa dengan
orang Badui lainnya.
“Apakah unta ini kau jual?”“Benar,” jawab
Ali.“Berapa?”“Tiga ratus dirham.”Si Badui membayarnya kontan, dan unta
pun sah menjadi tunggangan barunya. Ali segara pulang kepada istrinya.
Wajah Fatimah kali ini tampak berseri menunggu penjelasan Sayyidina Ali
atas kejadian yang baru saja dialami.
“Baiklah,” kata Fatimah selepas
mendengarkan cerita suaminya.Ali bertekad menghadap Rasulullah. Saat
kaki memasuki pintu masjid, sambutan hangat langsung datang dari
Rasulullah. Nabi melempar senyum dan salam, lalu bertanya, “Hai Ali, kau
yang akan memberiku kabar, atau aku yang akan memberimu
kabar?”“Sebaiknya Engkau, ya Rasulullah, yang memberi kabar
kepadaku.”“Tahukah kamu, siapa orang Badui yang menjual unta kepadamu
dan orang Badui yang membeli unta darimu?”“Allah dan Rasul-Nya tentu
lebih tahu,” sahut Ali memasrahkan jawaban.“Sangat beruntung kau, wahai
Ali. Kau telah memberi pinjaman karena Allah sebesar enam dirham, dan
Allah pun telah memberimu tiga ratus dirham, 50 kali lipat dari tiap
dirham. Badui yang pertama adalah malaikat Jibril, sedangkan Badui yang
kedua adalah malaikat Israfil (dalam riwayat lain, malaikat
Mikail).
”Kisah yang bisa kita baca dari kitab al-Aqthaf ad-Daniyah ini
menggambarkan betapa ketulusan Ali dalam menolong sesama telah
membuahkan balasan berlipat, bahkan dengan cara dan hasil di luar
dugaannya.
Keluasan hati istrinya, Fathimah, untuk menerima keterbatasan
juga melengkapi kisah kebersahajaan hidup keluarga ini. Dukungan penuh
dari Fathimah telah menguatkan sang suami untuk tetap bermanfaat bagi
orang lain, meski untuk sementara waktu mengabaikan kepentingannya
sendiri
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah beliau ini
Selasa, 16 Agustus 2016
Home »
KISAH INSPIRATIF
» KISAH TAULADAN SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB
0 komentar:
Posting Komentar