Ujian Nasioal untuk setara Menegah Atas dan Kejuruan tahun 2016, berakhir sudah, walaupun nilai UN bukanlah penentu akhir kelululusan siswa, namun UN menjadi barometer penting bagi sekolah khususnya dan Pendidikan umumnya.
Kualitas dari lulusan satu sekolah dengan hasil UN yang baik adalah modal penting untuk masuk perguruan tinggi negeri, seperti era sebelumnya dengan menggunakan NEM ( Nilai Ebtanas Murni ). Setelah kemudian pemerintah sempat menggunakan UN sebagai kriteria kelulusan siswa yang berdampak dengan banyaknya siswa yang merasa "tertekan" dalam satu sisi, namun dalam sisi lainnya memberikan motivasi pula buat siswa untuk belajar lebih serius dan memotivasi diri mereka untuk "LULUS" dan tentunya masuk ke Universitas Universitas unggulan.
Terkait unas ini, mulai tahun 2015 yang lalu, hasil UN bukan sebagai
penentu kelulusan, tetapi sebagai alat pemetaan kondisi pendidikan. Ini
mengubah kebijakan sebelumnya yang menempatkan unas sebagai syarat
kelulusan siswa. Jika selama ini, nasib siswa ditentukan oleh nilai
ujian (angka) satu pekan ketika UN, kini, ketentuan kelulusan siswa
ditentukan dari sikap, penilaian akademis, dan psikomotorik atau
keterampilan siswa dalam menerapkan hal-hal yang telah dipelajari.
Penilaian dilakukan secara utuh melalui proses saksama yang melibatkan
wali kelas, guru mata pelajaran, dan guru bimbingan konseling.
Dengan tidak ditetapkannya UN sebagai indikator utama kelulusan siswa, bukan berarti siswa tidak merasa perlu lagi dengan UN, karena bagi siswa itu sendiri akan mendapatkan banyak hal. UN adalah Nilai murni yang mencerminkan kualitas si siswa dalam menyerap sistem, juga berjalanya sistem itu sendiri dan yang menjalankan sistem.
Sebagaimana tertuang dalam Prosedur Operasional Standar (POS)
Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016, hasil UN
digunakan untuk
(1) pemetaan mutu program dan atau Satuan Pendidikan,
(2) pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan
(3)
pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada Satuan
Pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Itu berarti bahwa Unas adalah kebijakan dalam rangka standarisasi
mutu untuk mencapai akuntabilitas publik, meningkatkan daya saing,
sharing pendidikan, pertanggungjawaban sekolah bahwa semua proses telah
mencapai standar, juga bagian dari sistem yang mendorong siswa dan guru
agar makin giat belajar dan mengajar dengan baik untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Keputusan progresif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa UN
bukan syarat kelulusan, melainkan untuk pemetaan guna memperbaiki dan
meningkatkan kualitas pendidikan ini patut kita dukung. Alasannya,
melalui kebijakan tersebut pemerintah berkomitmen menggunakan data
pemetaan dari hasil UN itu sebagai sarana untuk menyesuaikan kebijakan
pendidikan dengan kebutuhan di tiap wilayah dan sekolah.
Kebijakan
Mendikbud, Anies Baswedan tersebut untuk memetakan kualitas sekolah untuk kepentingan
intervensi perbaikan kualitas pendidikan, lebih dari itu dalam konteks
siswa, kebijakan tersebut sungguh menghargai kecerdasan majemuk yang
dimiliki siswa yang selama ini dirampas oleh UN. Kebijakan tersebut
sungguh menghargai keunikan yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
Kebijakan Kemendikbud yang pro peserta didik ini menempatkan
pendidikan bukan sebagai medan laga pertandingan para gladiator,
petarung yang unggul sekaligus penyingkiran yang lemah, penyiapan para
calon juara, tetapi tempat penyemaian benih-benih toleransi, tempat satu
sama lain saling tergantung dan melengkapi. Lahan bagi siapa saja
dengan segala keunikannya masing-masing boleh berperan dan memberikan
kontribusi.
Pendidikan ditempatkan sebagai potret kehidupan itu sendiri, tempat
satu sama lain saling tergantung dan melengkapi. Tak ada lagi yang kuat
dan yang lemah. Yang ada adalah setiap pribadi yang bebas mengembangkan
diri sesuai dengan keunikannya. Semangat untuk “memenangkan diri dengan
mengalahkan orang lain” diganti dengan “kemenangan diri karena
kontribusi orang lain”. Sesamaku bukan lawan yang harus kukalahkan,
melainkan mitra yang sangat kuperlukan untuk meraih kemuliaan bersama.
Pendidikan didorong bermuara pada kehidupan manusia bukan pada logika
pasar dan angka-angka kuantitatif yang menyesatkan itu. Pendidikan
haruslah berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan. Idealisme ini
penting mengingat bahwa manusia merupakan sentrum segala-galanya. Di
sini, pendidikan yang inklusif-berintegritas adalah keniscayaan.
Kini, ketentuan kelulusan siswa ditentukan dari sikap, penilaian
akademis, dan psikomotorik atau keterampilan siswa dalam menerapkan
hal-hal yang telah dipelajari. Penilaian dilakukan secara utuh melalui
proses saksama yang melibatkan wali kelas, guru mata pelajaran, dan guru
bimbingan konseling.
Siswa didorong belajar keras agar bisa lulus sesuai dengan standar
kompetensi setiap mata pelajaran yang telah ditentukan. Guru dipacu
untuk terus berupaya meningkatkan mutu pengajaran. UN diharapkan dapat
menjadi faktor pendorong (daya gugah) bagi siswa, guru, sekolah,
orangtua, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk meningkatkan mutu
pendidikan tak hanya sekadar mencapai hasil akhir berupa nilai-nilai
angka itu.
Konsekuensi logis pengembalian penentuan kelulusan siswa ke guru dan
sekolah ini, penguatan aspek kejujuran menjadi sangat penting. Kejujuran
(integritas) adalah roh pendidikan. Tanpa kejujuran (integritas),
pendidikan hanyalah formalitas belaka. Dan itu sia-sia.
Dari pihak siswa, siswa didorong untuk mengerjakan soal-soal UN
dengan jujur. Siswa hendaknya mempunyai rasa optimis dalam menghadapi
UN. Hindari cara-cara yang kotor dan tercela dalam mengerjakan UN.
Misalnya, dengan cara menyontek. Menyontek menunjukkan ketergantungan
pada orang lain. Siswa yang suka menyontek sama sekali tidak mempunyai
rasa percaya diri. Itu tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi
juga sekolahnya.
Sementara di pihak guru, guru dituntut lebih cermat dalam memberikan
penilaian terhadap siswa. Guru harus berani memberikan nilai kepada
siswa apa adanya, jujur, dan penuh tanggung jawab. Para guru tidak boleh
melakukan katrol nilai demi meluluskan peserta didiknya. Sebaliknya,
guru harus menjaga amanah dalam menilai kelulusan siswanya. Di sini,
integritas guru dan sekolah menjadi taruhannya.
Mampukah kita menjaga integritas sekolah kita? Pasti Mampu! Mari
kita kembangkan Semangat Integritas, Pantang Menyerah, dan Terus
Tingkatkan Prestasi!
Dalam kesempatan lain yang dikutip dari media Tempo Mendikbud memaparkan ;
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menegaskan bahwa ujian nasional
bukan lagi penentu kelulusan siswa. "Kelulusan dikembalikan sepenuhnya
kepada sekolah," katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo di ruang kerjanya, Selasa pekan lalu.
Selain itu, ada beberapa kebaruan lain yang ada pada ujian nasional 2016. Apa saja? Berikut ini petikan wawancaranya.
Pekan ini siswa sekolah menengah atas melaksanakan ujian nasional. Apa yang baru tahun ini?
Tahun ini kami meneruskan dan memperkuat berbagai perubahan yang
digagas sejak tahun lalu. Semisal, UN dikembalikan pada fungsi pemetaan
dan sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan. Sedangkan kelulusan
dikembalikan sepenuhnya kepada sekolah.
Perubahan signifikan
tahun ini ada pada skala pelaksanaan UNBK (ujian nasional berbasis
komputer). Sementara tahun lalu kami baru menerapkan secara terbatas di
500 sekolah, tahun ini menjadi 4.400 sekolah di seluruh Indonesia. Dari
107 ribu siswa menjadi 921 ribu siswa. Meningkat 900 persen. DI
Yogyakarta adalah provinsi dengan penerapan UNBK terbesar. Untuk kota,
Surabaya bahkan menerapkannya di 100 persen sekolahnya. Lalu, kami
menerapkan indeks integritas ujian nasional (IIUN) sebagai pendamping
nilai UN.
Indeks apa itu?
Ini indeks untuk
mengukur pola kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan UN di sekolah.
Sejak tahun lalu, kami juga menginisiasi ujian nasional berbasis
komputer, dengan tujuan jangka panjang membuat UN lebih fleksibel
sekaligus lebih andal, baik dari sisi pelaksanaan maupun dari sisi
soal.
Apa dasar penerapan IIUN?
Salah satu
masalah bangsa ini adalah integritas. Sudah jadi desas-desus umum dulu
pelaksanaan UN dikotori kecurangan, sering kali secara massal. Sudah
saatnya kita berhenti mendiamkan kecurangan di dunia pendidikan. Dulu
rakyat melapor ada kecurangan dan justru sering "dihukum". Sekarang kita
lakukan revolusi mental: negara yang melapor kepada publik tentang
kejujuran dan kecurangan dalam UN.
Bagaimana teknisnya?
IIUN adalah teknik analisis data yang menggunakan algoritma statistik
untuk mendeteksi pola kecurangan pada jawaban ujian. Di dunia akademik,
alat semacam ini sudah umum digunakan dan dikembangkan, bahkan sejak
1970-an. Yang terpenting untuk kita ingat adalah prestasi penting, tapi
jujur yang utama.
UN diposisikan sebagai pemetaan. Apa tindak lanjutnya?
Untuk memperkuat fungsi UN sebagai pemetaan, sejak tahun lalu kami
sudah memperkaya surat keterangan hasil UN serta laporan UN kepada
siswa, sekolah, dan daerah. Laporan UN berisi informasi lebih dalam di
balik sekadar nilai, di antaranya pada bagian apa saja siswa dan sekolah
telah memenuhi standar kompetensi yang diharapkan dan pada bagian mana
yang belum, bahkan sampai tingkat topik di dalam mata pelajaran.
Bagaimana data itu digunakan?
Laporan ini seharusnya bisa dimanfaatkan sekolah dan daerah,
digabungkan dengan berbagai pemetaan lain, sebagai bahan untuk menyusun
strategi peningkatan mutu layanan. Kami di Kementerian juga melakukannya
dengan menganalisis hasil UN terhadap berbagai pemetaan lain, seperti
delapan standar nasional pendidikan, untuk bahan perbaikan ke depan.
Hasilnya, nilai UN paling berkorelasi dengan standar pendidik dan tenaga
kependidikan. Jadi betul ungkapan bahwa guru adalah kunci.
Rabu, 06 April 2016
Home »
ARTIKEL
,
BERITA
,
UJIAN NASIONAL
,
UN
» UN 2016 SEBAGAI NILAI INTEGRITAS DAN BAROMETER SEKOLAH
0 komentar:
Posting Komentar