Anggapan
bahwa pendidikan di Indonesia belum optimal dalam membangun akhlak dan moral,
sudah lama didengung-dengungkan. Dalam GBHN 1999 dinyatakan :“Di bidang
pendidikan, masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang
bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat
hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran
yang ber orientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan
dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan
sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup
untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan
masyarakat yang majemuk.”
Sejalan
dengan permasalahan di bidang pendidikan, kondisi kehidupan beragama pun
GBHN 1999 memberikan konstatasi senada: “Kehidupan beragama belum memberikan
jaminan akan peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa bagi masyarakat. Merebaknya penyakit sosial, korupsi dan sejenisnya,
kriminalitas, pemakaian obat terlarang, perilaku menyimpang yang melanggar
moralitas, etika dan kepatutan, memberikan gambaran terjadinya kesenjangan
antara perilaku formal kehidupan keagamaan dengan perilaku realitas nyata
kehidupan keseharian”.
Gambaran
tahun 1999 di atas, kelihatannya belum banyak berubah saat ini. Maraknya
penyakit sosial, seperti kenakalan remaja, kriminalitas, pemakaian obat
terlarang, tawuran, lemahnya budaya antri, kebiasaan membuang sampah
sembarangan, korupsi, dan perilaku menyimpang lainnya masih menjadi pemandangan
sehari-hari.Kondisi sosial demikian telah mendorong semakin gencarnya tuntutan
untuk meningkatkan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Undang-undang Nomor 2
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tujuan pendidikan nasional
tersebut, secara eksplisit, menempatkan pendidikan budi pekerti pada posisi
yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan.
Dimasukkannya
pendidikan agama sebagai bagian integral dalam pendidikan nasional, selain
diharapkan menjadi media utama penanaman keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga diharapkan dapat memperkuat pendidikan
budi pekerti. Diakui bahwa pendidikan agama di sekolah telah berhasil memberikan
kontribusinya dalam meningkatkan ketaatan menjalankan agamanya pada aspek
hubungan vertikal dengan Tuhan, meningkatkan syiar, dan meningkatkan kepekaan
susila, tetapi perlu diakui pula bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama masih
terdapat kelemahankelemahan yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terus
menerus. Di antara kelemahan tersebut, yang paling dirasakan adalah belum
optimalnya Pendidikan Agama di sekolah dalam memberikan sumbangan terhadap
pendidikan budi pekerti yang pada hakekatnya merupakan perwujudan kesalehan
sosial dan kesalehan etika dalam hubungan horizontal dengan sesama makhluk.
Sebenarnya,
upaya untuk itu sejak lama juga sudah dilakukan, seperti antara lain melalui
integrasi aspek keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) ke dalam pembelajaran,
Pendidikan Budi Pekerti, P4 (Pedoman Penghayatan, dan Pengamalan
Pancasila), dan program-program lainnya. Upaya-upaya tersebut tentu sudah
memberikan andil dalam peningkatan intensitas pendidikan karakter di sekolah,
tetapi masih di rasakan belum mencukupi. Hal inilah yang antara lain mendorong
Direktorat Pembinaan SMP mengembangan pendidikan karakter, yang bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah
pada penca paian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi
serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehing ga terwujud
dalam perilaku sehari-hari.
Sejalan
dengan pengembangan pendidikan karakter tersebut, sejak tahun 2008 Direktorat
Pembinan SMP meluncurkan program Pembinaan SMP Berbasis Psantren (SBP) melalui
kerja sama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Kementerian Agama dan Center for Center for Research and Development in
Education (CERDEV) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. SMP Berbasis Pesantren
adalah SMP yang dilaksanakan dan menjadi bagian integral dalam pendidikan di
pesantren. Beberapa langkah “intervensi” dalam program pembinaan SBP telah
dilakukan untuk mengakselerasi pecapaian tujuan SBP sebagai model pendidikan
karakter di SMP.
Mengapa Pesantren
Pendidikan sebagai sistem, sering digambarkan sebagai proses input output yang meletakkan peserta didik sebagai raw input dan tujuan pendidikan sebagai output, sedangkan dalam proses terdapat dua jenis elemen/faktor penting yang beperan “membentuk” atau “membangun”. Jenis pertama berupa elemen-elemen instrumental yang bisa direncanakan dan direkayasa, seperti: kurikulum, sarana pendidikan, sistem ketenagaan, metodologi, evaluasi, dan sebagainya. Jenis kedua berupa elemen non isntrumental, yang relatif konstan, tidak mudah diubah oleh perencana pendidikan, yaitu lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Faktor lingkungan ini, meski tidak mudah direkayasa, pada kenyataannya mampu memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian anak didik. Secara kurikuler, sering dinamakan hidden curriculum, kurikulum tersembunyi yang, walaupun tidak tertulis tetapi, andilnya cukup bermakna. Dalam upaya peningkatan pendidikan karakter, lingkungan pesantren diharapkan mampu memerankan faktor non instrumental tersebut.
Menelusuri
tumbuh dan berkembangnya pondok pesantren tidak terlepas hubungannya dengan
sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula
ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran
agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, membaca Al
Qur’an, dan pengetahuan Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini
belajar di rumah, surau, langgar, atau masjid. Di tempat-tempat inilah
orang-orang yang baru masuk Islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al
Qur’an dan ilmu-lmu agama lainnya, secara individual dan
langsung. Dalam perkembangannya, keinginan untuk lebih memperdalam
ilmu-ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk
melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar, atau masjid.
Model
pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia, dengan nama dan corak
yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut pondok atau pesantren, di Aceh dikenal
rangkang, di Sumatra Barat dikenal surau. Nama yang sekarang diterima umum
adalah pondok pesantren. Sesuai dengan latar belakang pertumbuhan dan
perkembangannya, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang berfungsi
sebagai tempat mendidik santri untuk menjadi muslim yang taat menjalankan ajaran
agama dan sekaligus menguasai ilmu-ilmu agama. Tentu saja dalam peranan
utamanya ini, pendidikan di pondok pesantren tidak semata-mata bertujuan
mentransformasikan ilmu pengetahuan agama dari kyai kepada santri-santrinya,
melainkan juga membentuk akhlak dan kepribadian santri menjadi muslim yang
istiqamah, bertanggung jawab, menghargai nilai-nilai agama di atas
nilai-nilai yang lain. Oleh sebab itu, pendidikan di pondok pesantren selain
mengenal kurikulum atau manhaj berupa target-target penguasaan kitab-kitab
tertentu sesuai dengan pembidangan ilmu-ilmu agama, di pondok pesantren juga
berlangsung proses interaksi pendidikan yang bermuara pada pembentukan karakter
dan akhlaq.
Pondok
pesantren tidak hanya mendidik santri menjadi ‘alim/pandai/intelek, tetapi juga
membentuknya menjadi muslim yang kaffah/mumpuni/sempurna yang tidak saja pintar
dan menguasai ilmu-ilmu agama, tetapi juga santri yang teguh imannya, taat
menjalankan syariat, dan siap mengaktualisasikan aqidah dan ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari dalam tata pergaulan sesama manusia. Pesantren
mempunyai ciri tersendiri, antara lain santri tinggal dalam asrama (pondok) dan
pengajarannya dilakukan secara penuh 24 jam. Dalam proses pengajaran secara
penuh tersebut terjadi proses interaksi antara komponenkomponen dan
elemen-elemen dalam satu sistem yang saling terkait, sehingga terbentuk
lingkungan khas yang “membangun” karakter santri. Pengasuh pondok pesantren
tidak hanya mengajar santri tetapi lebih bersifat mengasuh dan memberikan
bimbingan kepada santri. Pengasuh pondok adalah sosok teladan bagi santrinya.
Kondisi
tersebut dapat tercipta karena pondok pesantren memiliki program pendidikan
yang disusun sendiri (mandiri) baik yang sifat nya pendidikan formal, non
formal, maupun informal serta ditunjang dengan sistem pengasramaan yang
merupakan salah satu ciri khas pondok pesantren. Sistem dan pendekatan
demikian menempatkan pondok pesantren bukan saja berfungsi sebagai tempat
belajar ilmu pengetahuan agama melainkan juga merupakan tempat berprosesnya
kehidup an itu sendiri, yang menciptakan kondisi untuk pembentukan watak dan
pengembangan kepribadian.
Pembinaan SMP Berbasis Pesantren
Pembinaan SMP Berbasis Pesantren adalah program yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan keunggulan ”sistem” pendidikan yang dikembangkan di sekolah dengan keunggulan ”sistem” pendidikan yang dilaksanakan di pesantren. Pilihan memadukan sistem sekolah dan pesantren ini diambil setelah mengamati secara seksama mutu yang pendidikan yang dilahirkan oleh masing-masing sistem. Secara umum, pesantren dan sekolah merupakan dua satuan pendidikan yang masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda satu sama lain. Bila mereka berjalan sendiri-sendiri, ada potensi dan kekuatan pendidikan yang terbuang sia-sia. Namun bila kedua unggulan itu dapat disatukan, maka akan lahir sebuah kekuatan pendidikan yang komprehensif untuk melahirkan anak Indonesia yang unggul. Pendidikan di sekolah memiliki keunggulan dalam pengembang an peserta didik, karena didukung oleh pelaksanaan sistem yang berjenjang, program pendidikan yang didesain secara hierarkis dan sistematis, serta adanya standarisasi pencapaian keberhasil an pendidikan. Selain itu, dalam pelak-sanaan pendidik an di sekolah, peserta didik juga mendapatkan berbagai materi yang terstruktur, faktual dan dibutuhkan terutama dalam dunia kerja, sehingga sekolah kemudian dapat memberikan kontribusi bagi pembentukan dan pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat yang memiliki beberapa keunggulan, seperti:
1.
Misi pendidikan nya lebih banyak ditekankan pada aspek moralitas
dan pembinaan kepribadian;
2.
Kultur kemandirian dan interaksi sosial dengan masyarakat
sekitar secara langsung dan berlangsung dua puluh empat jam setiap hari;
3.
Penguasaan literatur klasik yang sarat dengan nilai-nilai dan
pesan moral yang berguna bagi pengembangan peradaban yang beretika;
4.
Kharisma kyai sebagai manajer dan pengasuh lembaga pesantren, menjadikan
panutan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari;
5.
Hubungan kyai dan santri yang bersifat kekeluargaan dengan
kepatuhan yang tinggi.
Meskipun
secara konsep keduanya memiliki keunggulan, namun kenyataan di lapangan,
kekuatan yang dimiliki SMP yang ada di pesantren tidak sama. Jika “sistem”
sekolah diletakkan dalam satu kordinat sebagai sumbu x dan nilai-nilai atau
kultur kepesantren an sebagai sumbu y, maka akan diperoleh empat kuadran yang
menggambarkan kondisi SMP yang ada di pesantren:
1.
sekolah kuat pesantren kuat;
2.
sekolah lemah pesantren kuat;
3.
sekolah kuat pesantren lemah; dan
4.
sekolah lemah pesantren lemah.Program Pembinaan SMP
Berbasis
Pesantren hakikinya adalah upaya untuk mengarahan semua SMP yang ada di
pesantren masuk ke dalam kuadran 1 : sekolah kuat pesantren kuat. Program
yang digagas tahun 2007 dan mulai diimplementasikan pada tahun 2008 tersebut
saat ini diikuti oleh 182 SMP di pondok pesantren, tersebar di 140 kabupaten/
kota, 31 provinsi. Untuk mewujudkan harapan berfungsinya SMP Berbasis Pesantren
seperti yang diharapkan, berbagai langkah telah dilakukan oleh Direktorat
Pembinaan SMP Kemendikbud dan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama. Langkah-langkah tersebut tidak semata-mata
pemberian bantuan, tetapi lebih dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
sekolah dan pondok pesantren dalam mewujudkan visi dan misinya, karena program
ini meletakkan sekolah/pondok sebagai subyek, bukan obyek.
Penguatan aspek akademis
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, SMP Berbasis Pesantren pun diarahkan agar mampu melaksanakan pendidikan menuju tercapainya delapan standar nasional pendidikan. Untuk itu, Direktorat Pembinaan SMP telah melakukan pembinaan melalui pemenuhan ketersediaan sumber daya pendidikan, seperti pembangunan RKB, ruang belajar lain, bantuan pembangunan tempat ibadah, penyediaan alat pendidikan, alat IPA, alat TIK untuk pusat sumber belajar. Selain bantuan-bantuan yang juga diberikan kepada SMP lainnya tersebut, secara khusus telah diupayakan pula peningkatan kemampuan tenaga pendidik untuk mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran dalam bentuk workshop pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bimbingan teknis pembelajaran pada SMP Berbasis Pesantren.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, SMP Berbasis Pesantren pun diarahkan agar mampu melaksanakan pendidikan menuju tercapainya delapan standar nasional pendidikan. Untuk itu, Direktorat Pembinaan SMP telah melakukan pembinaan melalui pemenuhan ketersediaan sumber daya pendidikan, seperti pembangunan RKB, ruang belajar lain, bantuan pembangunan tempat ibadah, penyediaan alat pendidikan, alat IPA, alat TIK untuk pusat sumber belajar. Selain bantuan-bantuan yang juga diberikan kepada SMP lainnya tersebut, secara khusus telah diupayakan pula peningkatan kemampuan tenaga pendidik untuk mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran dalam bentuk workshop pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bimbingan teknis pembelajaran pada SMP Berbasis Pesantren.
Di
samping peningkatan tenaga kependidikan, mulai pada tahun 2011 Direktorat
Pembinaan SMP telah menyalurkan bantuan pembinaan SBP kepada sekolah-sekolah
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Pemberian bantuan pembinaan SBP
bertujuan agar SMP Berbasis Pesantren secara nyata lebih mampu dalam usahanya
mewujudkan tercapainya delapan standar nasional pendidikan, yaitu : standar
isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan
tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan. Jabaran dari standar nasional pendidikandipilih oleh sekolah, sesuai dengan kebutuhan dan program masing-masing, dengan tetap mengacu pada pencapaian delapan Standar Nasional Pendidikan.
tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan. Jabaran dari standar nasional pendidikandipilih oleh sekolah, sesuai dengan kebutuhan dan program masing-masing, dengan tetap mengacu pada pencapaian delapan Standar Nasional Pendidikan.
Contoh
kegiatan yang dapat dilakukan sekolah untuk masing-masing standar:
1.
Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan:
·
Membuat atau menyusun RPP berbasis pendidikan karakter dari
semua silabus yang akan dipergunakan untuk proses pembelajaran;
·
Penyediaan beasiswa untuk para siswa yang berprestasi baik di
bidang akademik maupun non akademik;
·
Melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler, seperti pramuka, palang
merah remaja, UKS
·
Menyelenggarakan lomba-lomba, seperti lomba sains, lomba
mengarang, lomba pidato dalam bahasa Inggris
·
Menyelenggarakan Porseni, pengembangan minat dan bakat siswa
·
Menyelenggarakan pendidikan karakter dan pembinaan pencegahan
penyalahgunaan narkoba
·
Menyelenggarakan lomba sekolah sehat
·
Kegiatan lain yang relevan dengan kebutuhan sekolah.
2.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan: Peningkatan Kompetensi SDM
·
Pengembangan keterampilan guru dalam bidang studi dan metode
pembelajaran, seperti contextual teaching and learning(CTL) dan pendidikan
kecakapan hidup (life skill).
·
Peningkatan kemampuan dan keterampilan guru dalam pengembangan
kurikulum;
·
Peningkatan kemampuan guru dalam pelaksanaan penelitian tindakan
kelas dan penulisan karya tulis ilmiah.
·
Peningkatan kemampuan menggunakan multi media interaktif dalam
proses pembelajaran;
·
Peningkatan kemampuan menggunakan komputer dan internet (ICT)
bagi semua warga sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,
karyawan);
·
Kegiatan lain yang relevan dengan kebutuhan sekolah.
3.
Penguatan Manajemen Sekolah sesuai dengan Standar Pengelolaan Pendidikan
·
Pengembangan sistem pendataan dan informasi sekolah.
·
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas sekolah dalam membuat
perencanaan kegiatan dan program, implementasi dan pelaporan kegiatan
sekolah
·
Workshoppenyusunan RKS dan RKAS
·
Meningkatkan kesadaran, motivasi dan keterlibatan orang tua
seperti kunjungan rumah dan kelas terbuka untuk orang tua
·
Menjalin dan memperkuat hubungan dengan orang tua dan masyarakat
dan stakeholderlainnya (Humas)
·
Implementasi MBS (program atau kegiatan yang mencerminkan
transparansi, akuntabilitas) baik dalam bentuk administratif maupun kegiatan
nyata (misalnya dalam bentuk pelaporan, kerja sama dengan media masa cetak
dan elektronik);
·
Pendokumentasian berbagai panduan khusus pengelolaan dalam
berbagai aspek pendidikan yang berbasis ICT, seperti manajemen kesiswaan,
fasilitas, perpustakaan, penilaian, tenaga, penerapan website.
4.
Pengembangan dan Implementasi Sistem Penilaian sesuai dengan Standar Penilaian
Pendidikan
·
Kegiatan untuk memperoleh konsep dan panduan standar nasional
sistem penilaian (yaitu standar nilai, standar metode penilaian, standar
instrumen penilaian sesuai mapelnya, standar analisis nilai, standar
kompetensi yang dinilai, dan sebagainya) melalui berbagai upaya sesuai kondisi
sekolah;
·
Kegiatan untuk pendokumentasian konsep dan panduan sistem
penilaian yang akan diterapkan di sekolah;
·
Kegiatan pembuatan kisi-kisi kompetensi yang akan dinilai sesuai
mapelnya;
·
Pembuatan instrumen atau perangkat soal dalam berbagai
bentuk/jenis sesuai mapelnya yang sesuai tuntutan kurikulum;
·
Kegiatan penilaian dan analisis nilai oleh semua guru;
·
Pendokumentasian nilai di sekolah;
·
Kegiatan lain yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan sekolah
masing-masing.
5.
Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana Pembelajaran sesuai dengan Standar
Sarana dan Prasarana Pendidikan
·
Menyusun dan mendokumentasikan rencana pengembangan fasilitas
jangka pendek dan panjang;
·
Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pokok sekolah, seperti
fasilitas (isi) laboratorium IPA (Biologi, dan Fisika), laboratorium
multi-media (melengkapi komputer), pemasangan atau penyempurnaan jaringan
internet yang terpasang lengkap ke sistem (laboratorium multimedia,
perpustakaan, ruang guru, ruang kepala sekolah, TU, ruang multi media),
peralatan media pembelajaran di kelas (TV, VCD, Tape, OHP, LCD, laptop);
·
Penyediaan bahan pembelajaran dan biaya pemeliharaannya seperti
perangkat laboratorium, tape recorder,OHP, LCD
·
Penyediaan peralatan olah raga dan seni.
6.
Standar Proses: Pengembangan Proses Pembelajaran
·
Mengupayakan jumlah siswa per rombongan belajar sesuai dengan
ketentuan standar nasional;
·
Mengupayakan masing-masing siswa dapat menggunakan 1 buku
pelajaran pada setiap mata pelajaran;
·
Mengembangkan model-model yang paling tepat dalam pengelolaan
kelas;
·
Pengembangan atau penerapan pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning);
·
Pelaksanaan supervisi pengajaran oleh kepala sekolah dan/ atau
pengawas satuan pendidikan;
·
Melaksanakan proses evaluasi proses pembelajaran;
Bantuan
Pembinaan SMP Berbasis Pesantren tidak boleh dipergunakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan di bawah ini.
1.
Pembangunan gedung/ruang kelas/perpustakaan baru;
2.
Pembelian atau sewa kendaraan;
3.
Disimpan di bank dalam waktu yang lama dengan maksud mendapatkan
bunga;
4.
Dipinjamkan kepada siapapun;
5.
Diinvestasikan, misalnya peternakan, pertanian, perikanan,
pembelian saham, atau kegiatan sejenisnya
Penguatan kultur kepesantrenan
Pembinaan SMP Berbasis Pesantren yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren lebih mengarah kepada penguatan nilai-nilai atau kultur kepesantrenan. Untuk itu, selain bantuan pembangunan asrama/pondok, juga telah dilakukan beberapa kegiatan untuk memperkuat integrasi kultur kepesantrenan di SMP Berbasis Pesantren. Kegiatan ini dimulai dengan identifikasi kultur kepesantrenan yang perlu diintegrasikan, pengembangan model/pendekatan dalam integrasi kepesantrenan, advokasi implementasi integrasi kultur kepesantrenan di sekolah/pondok.
Pembinaan SMP Berbasis Pesantren yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren lebih mengarah kepada penguatan nilai-nilai atau kultur kepesantrenan. Untuk itu, selain bantuan pembangunan asrama/pondok, juga telah dilakukan beberapa kegiatan untuk memperkuat integrasi kultur kepesantrenan di SMP Berbasis Pesantren. Kegiatan ini dimulai dengan identifikasi kultur kepesantrenan yang perlu diintegrasikan, pengembangan model/pendekatan dalam integrasi kepesantrenan, advokasi implementasi integrasi kultur kepesantrenan di sekolah/pondok.
Identifikasi
kultur kepesantrenan telah dilakukan pada tahun 2011 dan telah menetapkan 17
macam kultur (Kemenag RI, 2011) yang akan diintegrasikan di SMP Berbasis
Pesantren, yaitu:
1.
Pendalaman ilmu agama;
2.
Mondok;
3.
Kepatuhan;
4.
Keteladanan;
5.
Kesalehan;
6.
Kemandirian;
7.
Kedisiplinan;
8.
Kesederhanaan;
9.
Toleransi;
10.
Qanaah;
11.
Rendah hati;
12.
Ketabahan;
13.
Kesetiakawanan/tolong menolong;
14.
Ketulusan;
15.
Konsisten;
16.
Kemasyarakatan; dan
17.
Kebersihan.
Integrasi
17 macam kultur kepesantrenan tersebut dilakukan melalui tiga pendekatan,
yaitu: (1) integrasi kultur kepesantrenan melalui mata pelajaran; (2) integrasi
kultur kepesantrenan melalui kegiatan ekstra kurikuler; dan (3) integrasi
kultur kepesantrenan melalui manajemen sekolah. Dalam rangkapiloting dan
mencari model yang tepat implementasinya di sekolah/pondok, mulai tahun 2012
telah dilakukan advokasi implementasi integrasi kultur kepesantrenan di
sejumlah SMP Berbasis Pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan
Jawa Timur. Kebutuhan untuk meningkatkan intensitas pendidikan karakter
sudah lama dirasakan dan berbagai upaya telah dilakukan. Sejalan dengan upaya
tersebut telah diluncurkan program pembinaan SMP Berbasis Pesantren yang
diharapkan mampu menjadi model pendidikan karakter di SMP, dengan memadukan
keunggulan pendidikan akademis di sekolah dengan keunggulan pendidikan spiritual
di pesanren. Agar diperoleh efektivitas yang tinggi, program pembinaan SMP
Berbasis Pesantren berusaha memberikan penguatan keduanya.
SUMBER : DIREKTORAT PEMBINAAN SMP
SUMBER : DIREKTORAT PEMBINAAN SMP
0 komentar:
Posting Komentar