Munculnya boarding house school - boarding house school mewah di kota kota besar, disatu sisi menjadi keuntungan tersendiri bagi para orang tua yang notabene "sibuk" dan belum bisa memberikan perhatian maximal pada anak-anak mereka, sehingga trend kemunculan "boarding house school", menjadi alternatif mereka.
Konotasi image yang muncul dalam benak kebanyakan masyarakat sebuah "Boarding House School" tentunya berbasis Pesantren, dan ada ilmu - ilmu kepesantrenan yang diajarkan didalamnya
Pondok Pesantren yang diartikan ke dalam Bahasa Inggris ialah "Boarding House School" atau "Ma'had Islamy" Dalam Bahasa Arab, untuk sementara terjemahan yang cocok dalam Bahasa Inggris ya "Boarding House School" Tersebut, Namun Pondok Pesantren adalah sesuatu yang berbeda dari sekedar label "Boarding House School" atau "Ma'had Islamy", Pondok Pesantren dilihat dari konteknya memiliki ke khasan yang unik dari sejak jaman dahulu.
Pondok Pesantren dibangun tidak seperti "Boarding House School" yang instant dan mewah dengan modal besar, dengan segala fasilitasnya, namun umumnya dan hampir semua Pondok Pesantren dibangun dan dirintis dengan perjuangan dari dasar, dimulai dengan pembangunan kobong kobong ( kamar kamar ) yang seadanya, dan umumnya Pondok Pesantren dibangun dan diprakasai oleh Kyai dan keluarganya secara perorangan atau bersama sahabat - sahabat Kyai yang mempunyai idealisme, visi, misi dan tujuan searah, dan umumnya sebuah Pondok Pesantren adalah"Non Profit Oriented" lebih mengarah pada misi Keagamaan Syi'ar Islam khususnya dan sosial. Sedangkan Boarding House School biasanya didirikan oleh Pemerintah, Lembaga Charity, atau Yayasan bahkan Investor dan Pengusaha ( digaris bawahi Investor ), yang notabene investor tentunya ada unsur "profit oriented". Di Negara negara lainpun terutama negara negara maju konsep "Boarding House School" ini sudah lama ada,seperti Inggris, Amerika, Japan, dsb, jadi kemungkinan besar inspirasi "Boarding House School" Timbul juga dari pola pola pendidikan negara negara tersebut, tidak hanya dari Pondok Pesantren namun ditambahkan dengan pola pesantren "yaitu adanya pendidikan keagamaan yang lebih", namun belum tentu ada pendidikan pendidikan berkurikulum khas kepesantrenan.
Kepemimpinan sebuah Pondok Pesantren dipegang seorang "Kyai" yang gelar tersebut diberikan oleh masyarakat, dari kepercayaan masyarakat karena keilmuannya dan pengabdiannya pada masyarakat, sedangkan Pimpinan sebuah "Boarding House School" diangkat oleh Pengusaha atau Investor atau Pemerintah, Lembaga dan sekumpulan kelompok mereka yang mempunyai saham atau power di Boarding House School tersebut.
Pembelajaran di Pondok Pesantren dari jaman "baheula" sampai sekarang sama, ada ke khasan Pondok yaitu kitab kitab kuning yang berbahasa Arab, safinah, Ajurumiyyah, At-Tashrifiyah, Mustholah Alahadist, dan kitab-kitab lainnya sebagai ciri khas sebuah Pondok Pesantren. Kalaupun ada sebuah Pondok Pesantren yang menyatukan dengan pembelajaran umum tetap nuansa pembelajaran "kitab-kitab khas pondok" tidak akan hilang, dan akan dipadukan dengan kurikulum yang dicanangkan oleh Pemerintah, dengan tetap mengacu pada ke khasan sebuah Pondok Pesantren, yaitu mengkaji kitab kitab Pondok ( kitab kuning ) serta kajian kajian khas pondok lainnya, baik di Pondok Tradisional, Salafiyah atau Pondok Pesantren Modern, perbedaan hanya dalam racikan penyajian pembelajarannya saja.
Lain halnya dengan "Boarding House School" kurikulum umum tetap akan lebih dominan, dan belum tentu di sebuah Boarding House School ada pembelajaran kitab-kitab kuning, bahkan tidak sedikit yang berlabel Boarding House School Kurikulum umumlah yang lebih Dominan.
Orientesi dari sebuah Pondok Pesantren adalah melahirkan para ulama sebagai pemegang tongkat estafet Da'wah, bisa terjun dan mengamalkan keilmuan di Masyarakat dengan ilmu-ilmu fiqih nya misalnya, memandikan mayat, mengafani dan menguburkannya, dan lain sebagainya, walau tidak tertutup kemungkinan untuk santri-santri yang punya potensi mereka melanjutkan jenjang ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Kuliah, dan sekarang banyak Pondok - Pondok Pesantren modern yang menghasilkan generasi generasi Islami yang mumpuni. Output dari sebuah "Boarding House School" bukan melahirkan ulama atau ustadz atau mereka yang dapat bersosialisasi seperti contoh diatas, namun Science and Technology adalah orientasinya dengan catatan tetap dibekali ilmu keagamaan.
Sebuah Pondok Pesantren tidak terlalu memaksakan "dan memasang tarif" bagi santri santrinya bahkan banyak yang dibebaskan atau membayar iuran semampunya, hal ini tentu sangat berbeda dengan "Boarding House School" dengan segala fasilitasnya tersebut, yang bisa masuk ke "Boarding House School" umumnya mereka yang mampu membayar.
Dari Iuran yang tidak dipatok, kalaupun dipatok tetap ada banyak sekali kelonggaran dan toleransi, karenanya sebuah Pondok Pesantren lambat dalam pengembangan fasilitas, karena dana umumnya mutlak dari Pondok, Sumbangan Masyrakat setempat atau Yayasan yang menaunginya, kecuali ada bantuan atau sumbangan dari luar barulah fasilitas sebuah Pondok Pesantren pelan pelan bisa dilengkapi, tentunya hal ini menyebabkan pula keterbatasan sarana pendidikan.
Ditinjau dari analisa analisa diatas sebuah "Boarding House School" Belum tentu sebuah Pondok Pesantren" dan sebuah Pondok Pesantren bukan pula sebuah "Boarding House School" persamaannya adalah "tinggalnya siswa di dalam asrama ( Kobong ) jika di Pesantren. Sementara banyak image dari masyarakat secara umum jika ada embel embel "Boarding House School" itu adalah sejenis Pondok Pesantren. Pendidikan Militerpun jika dimasukan dalam katagori asrama ya masuk dalam "Boarding House School".
Secara Umum Sebuah Pondok Pesantren meiliki kekhasan yang tentunya tidak akan dimiliki "Boarding House School".
Ruhul Ma’had Antara Pesantren dan Boarding School, mari kita bandingkan:
Pesantren di Indonesia sedikitnya mempunyai lima ciri khas yang kemudian disebut dengan Panca Jiwa Pesantren (Ruhul Ma’had), yaitu keikhlasan (al-ikhlas), kesederhanaan (al-bisathoh), kemandirian (Al-i’timad ‘alan Nafs), ketaatan (at-Tho’ah), dan persaudaraan (ukhuwah). Lima ruhul ma’had (panca jiwa pesantren) inilah yang menghiasi seluruh komunitas dan menjadi Roh dalam dunia pesantren, mulai dari kyai, guru hingga para santrinya.
1. Al-Ikhlas (Keikhlasan)
Seluruh proses pendidikan di lingkungan pesantren harus dilakukan dengan penuh keikhlasan. Karena keikhlasan adalah energi dalam melakukan sebuah amal. Oleh sebab itu, meski dengan fasilitas yang sederhana, namun proses pendidikan di pesantren dilaksanakan dengan penuh semangat, karena dilandasi dengan keikhlasan.
Keikhlasan juga menjadi barometer berkahnya ilmu yang diajarkan kepada para santri. “Berkah” adalah kebaikan yang terus bertambah. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang terus mendatangkan kebaikan kepada penuntutnya. Oleh sebab itu, perubahan sikap yang terjadi pada diri santri saat sebelum menyantren dan setelah menyantren sehingga terus membaik adalah buah dari keikhlasan. Oleh sebab itu pula, mengapa antara santri dan pelajar di luar berbeda outputnya dalam sikap dan akhlak? Mungkin karena jiwa keikhlasan itu menjadi jiwa keseharian.
Hampir seluruh pesantren dan boarding school pasti memiliki jiwa keikhlasan. Hanya saja mungkin kadarnya berbeda-beda. Keikhlasan suatu pesantren atau boarding school dapat diukur dari orientasinya. Apakah orientasi hanya dunia? Atau akhirat?...Ada sebagian pesantren dibangun dari dana investor dengan perjanjian deviden tertentu bagi investornya. Jika hal ini tidak diniatkan untuk investasi akhirat, maka boleh jadi akan mengurangi rasa keikhlasan kecuali dibarengi dengan muhasabah (evaluasi diri) dan riyadhoh al-nafs (olah jiwa).
2. Al-Bisathoh (Kederhanaa)
Kesederhanaan harus menjadi ciri utama pesantren. Kesederhanaan bukan berarti kurangnya fasilitas. Akan tetapi para santri diajarkan hidup sederhana, dan kyai serta para guru memberikan contoh hidup sederhana. Sederhana dalam sikap, dalam berpakaian, dalam kebutuhan. Uang saku tidak boleh melebihi batas kecukupan, karena berlebihan dalam uang saku akan mendidik anak hidup glamor dan hedonis.
Disipilin kesederhanaan ini akan menghilangkan gap antara santri kaya dan santri kurang mampu. Ada santri dalam sebuah pesantren minta berhenti kepada orang tuanya, karena santri itu tahu diri, bahwa ayahnya adalah dari kalangan menengah ke bawah, sedangkan teman-temannya mempunyai orang tua dari kalangan orang kaya. Dia melihat, jika teman-temannya berangkat ke sebuah mini market, begitu banyaknya yang ia beli. Sehingga santri itu berkata kepada ayahnya, “Pak, pesantren ini tidak pantas untuk kita, aku minta pindah saja.”
3. Al-I’timad ‘alan-Nafs (Kemandirian)
Kemandirian jelas sangat terlihat di kehidupan pesantren. Para santri hidup jauh dari orang tuanya. Akan tetapi bukan hanya itu mendidik kemandirian. Para santri juga diberi tugas membersihkan kamar, kelas dan asramanya dengan sendirinya. Membersihkan piring dan meletakkannya pada tempatnya setelah digunakan. Bahkan membersihkan sudut-sudut pesantren. Hal itu dilakukan setiap hari agar menjadi pembiasaan. Sehingga kelak di kemudian hari mereka terbiasa melakukan aktifitas itu.
Pesantren bukanlah hotel atau motel yang kebersihan dan kerapian kamar, kelas, kamar mandi, halaman harus dikerjakan oleh petugas kebersihan ( cleaning service ). Para santrilah yang menjadi cleaning-service. Beberapa pesantren atau boarding school yang dengan spp atau iurannya tinggi menyajikan layanan kebersihan dengan memperkerjakan petugas cleaning service, sehingga santri tidak mendapat pendidikan kemandirian, terutama dalam mengurus kebutuhannya sendiri. Bahkan pada pesantren tradisional, para santri dituntut untuk masak sendiri, mencuci dan menyetrika baju sendiri. bahkan ada sebagian santri yang mengais rezeki sendiri dan mau bekerja.
Santri yang dibiasakan setiap harinya dengan aktifitas peduli pada lingkungannya, akan terlihat saat mereka liburan di rumahnya. Mereka tidak manja dan selalu membantu orang tuanya dalam membersihkan rumah dan lingkungannya. Kemandirian berekenomi juga perlu diajarkan kepada santri, baik dengan magang di koperasi atau berjualan di lingkungan pesantren tanpa harus menganggu pelajaran.
4. At-Tho’ah (ketaatan),
Sikap patuh santri pada guru dan kyai harus menjadi ciri utama sebuah pesantren. Kepatuhan akan hadir jika kyai dan guru memberikan keteladanan kepada para santri. Sebab ketataatan itu akan timbul jika adanya tsiqoh (trust) kepada yang orang yang ditaati. Dan tsiqoh (trust) akan lahir jika kita memberikan keteladanan (uswah). Sebagai contoh, jika santrinya diwajibkan shalat berjamaah, maka kyai dan semua gurunya melaksanakan shalat berjamaah.
Sedangkan pelajaran atau kitab tentang akhlak murid kepada gurunya hanyalah penguat saja timbulnya ketaatan murid kepada gurunya. Faktor utamanya adalah keteladanan. Selain itu, para santri pun perlu diajarkan tentang pentingnya ilmu dan kedudukan orang yang berilmu. Sehingga mereka tidak menyikapi para guru seperti orang gajian yang digaji oleh orang tua mereka. Akibatnya sikap hormat mereka kepada guru menjadi kurang. Di samping itu, guru pun jangan bersikap pilih kasih terhadap anak didiknya, apalagi hanya memperhatikan anak orang kaya saja. Hal ini akan menimbulkan sikap kurang penghormatan, baik dari si anak tersebut maupun anak-anak lainnya.
5. Ukhuwah (persaudaraan)
Suasana persaudaraan nampak dalam kehidupan santri. Mereka tidur bersama, makan bersama, belajar bersama, membersihkan tempat bersama. Bahkan mereka menganggap kyai dan guru seperti orang tua mereka sendiri. Tahapan ukhuwah sudah terbentuk dengan sendirinya, mulai dari taaruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), taawun (saling tolong menolong) dan takaful (saling sepenanggungan) serta talahum (seperti sedarah sedaging).
Dan pasti ada kenikmatan tersendiri "setelah (Ngaliweut. bhs Sunda), nanak nasi, makan bareng di daun pisang yang digelar dengan santri lainnya, walau lauknya hanya ikan asin bakar, tempe, tahu, lalapan dan sambal namun Yaa Rabbi...kenikmatannya sulit dibandingkan dengan makan di restaurant hotel bintang lima", kebersamaan, dan kemandirian terjalin begitu indah...
Sikap ini diharapkan akan menjadi karakter mereka selamanya. Bukan hanya pada saat di pesantren saja, namun juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.
Santri di Pondok Pesantren Tradisional |
Kesimpulan:
Pondok Pesantren dan Boarding House School adalah berbeda, yang masing masing memiliki kelebihan dan kekurangan. dimana bisa dijadikan sarana intropeksi bagi sebuah Pondok Pesantren yang notabene banyak orang masih memandang sebelah mata dengan kesan "Kumuh", terutama pada Pondok pondok Pesantren Tradisional, keterbukaan Pemerintah dan instasi terutama dinas terkait, juga mereka yang memiliki power untuk mau melirik pada Pondok Pondok Pesantren yang mana mereka berjuang dari bawah membangun pondok, dengan sarana seadanya, tentunya sangat diharapkan sekali tanpa adanya unsur "Profit Oriented" kalaupun mau berinvestasi adalah "Investasi akherat" dengan ikhlas. Karena dari Pondok pondok Pesantren inilah terlahirnya generasi penerus yang membawa pelita Islam.
Selain itu Dana Bantuan dari Pemerintah/Instansi terkait tersebut jangan sampai "Tidak Tepat " Sasaran, yang seharusnya memang layak untuk dibantu jadi dilarikan ke yang telah berlebihan :D
Ada Pengalaman menarik yang penulis pernah alami sendiri ketika berkunjung ke sebuah pesantren tradisional di pelosok Kota Garut ( Jawa Barat ) daerah Cibiuk dekat Gunung Haruman, sekitar Maqam Syaikh Jafar Shadiq, Beliau Ajengan ( Kyai ) Pengurus Pondok bercerita panjang lebar, beliau tidak mau menerima bantuan pemerintah setempat, apalagi dengan adanya embel embel..pun halnya Abuya Dimyati alm ( Banten ), dan banyak cerita cerita kyai lainnya, yang menolak bantuan yang mengandung "Unsur" dengan dasar ke wa'ra an mereka.
Pondok Pondok Pesantren diharapkan untuk bisa lebih berbenah lagi guna menghasilkan santriwan/ti, siswa/winya yang lebih kompeten lagi agar mereka bisa bersaing dengan yang diluar sana dengan dasar iman, ahlak dan adab yang memang sudah tertata apik di Pondok Pesantren. Memacu dan memberi motivasi pada santriwan-ti, siswa-winya untuk memaknai keutamaan dan hakekat "Iman Dan Ilmu".
Tidak Sedikit di sebuah Pondok Pesantren santriwan/ti nya yang memang mereka berpotensi, namun tidak terelus, tidak terpoles dengan baik ( dengan berbagai kendala dan keterbatasan tentunya, atau faktor lainnya), sehingga potensi si santri tersebut tidak teroptimalkan dengan baik.
Mondok atau Nyantren bukan hanya jadi Ajengan ( Kyai ) atau Ustadz saja sebagai orientasi akhir, karena tidak semua santri jadi ajengan ( Kyai ) ustadz dan Da'i, sudah ada bagian masing masing, namun output akhir yang diharapkan dengan belajar di Pondok Pesantren adalah Iman Dan Adab serta Ilmu yang menjadi bekal ketika bermasyarakat, sehingga segala tindakannya akan didasari oleh benteng "Iman Dan Adab ( Adab Pada Hukum Allah, Dan As Sunnah), segala ucapan, fikiran, pendengaran dan tindakannya akan selalu didasari azas azas hukum "boleh atau tidak boleh, Iya dan Tidak" menurut Qur'an dan Hadist serta Ijma dan Qiyas, tidak maen hantam seperti banyak kasus yang terjadi di negara kita sekarang, akibat rendahnya Iman Dan Adab para pelaku tersebut setelah mereka mempunyai power, dan tentunya terlahirnya generasi generasi "Beriman Teguh, Beradab Mulia, Serta Cerdas" dari Pondok Pondok Pesantren, yang akan memegang tongkat estafet pembangunan Bangsa ini.
Mau tidak mau suka tidak suka, tuntutan zaman akan berpengaruh atas kualifikasi santri, kenapa tidak jika dia jadi seorang tekhnokrat jadilah teknokrat yang Islami yang memegang teguh ajaran ajaran dan tuntunan Die'nul Islam, Jika dia jadi seorang Ilmuwan jadilah seorang Ilmuwan yang Islami, jadi Seorang Doktor, doktor yang Islami, jadi Pejabat Pejabat yang dibentengi oleh Iman Dan Adab serta hukum Islam, karena Islam tidak menutup ke arah itu, malah mewajibkan ummat Islam untuk "belajar terus belajar dan mau bekerja keras", dan Da'wah serta Syiar tidak akan berjalan mulus jika tanpa dukungan "Power".
Kita mengenal nama nama besar seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Battani, Ibnu Batutah, MUHAMMAD BIN MUSA AL-KHAWARIZMI, Umar Khayam, dan nama nama besar lainnya yang bisa menghasilkan karya karya gemililang dibidang Ilmu Pengetahuan yang hingga sekarang karya karya besar mereka digunakan dalam dunia ke ilmuan, Islam rindu orang-orang seperti ini, yang bisa berkontribusi pada agama dan mengangkat kebesaran Die'nul Islam. Selama ini terlalu lama ummat jadi penonton bukan kontributor...
Semoga makin banyak lahir Gontor - Gontor Baru, Langitan-langitan baru, Tebu Ireng - Tebu Ireng baru di Indonesia umumnya, dan Pembuang Hulu, Hanau, Kalimantan Tengah ini khususnya, yang bisa mencetak generasi-generasi Islami yang "Beriman, Beradab, Dan Cerdas" aminn...
Perjuangan dengan cara berbeda namun hakikatnya tetap sama memajukan "syiar Islam"...
Kalteng 17-April-2016
Setelah Peringatan di Israkan dan Di Mi'rajkannya Rasululloh SAW...
A.Herman.F
Daftar Pustaka :
http://www.dictionary30.com/
http://oxforddictionaries.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Boarding_school.
0 komentar:
Posting Komentar