Pondok pesantren pada awalnya di-setting sebagai lembaga pendidikan
non-formal. Surau, Masjid dan pemondokan santri menjadi ruang aktifitas
sentral para santri belajar ilmu. Ilmu yang dipelajari secara umum
berkutat pada persoalan disiplin ilmu agama (baca; Islam), semisal fiqh,
tasawwuf, nahwu, shorof, tauhid, tajwid dan semacamnya. Teks-teks yang jadi rujukan juga seputar kitab kuning klasik,
sebuah karya cendikiawan Islam (Ulama) yang rata-rata ditulis pada abad
pertengahan. Hal semacam itu membuat beberapa kalangan menjuluki kaum
pesantren sebagai kaum tradisionalis.
Seiring berjalannya waktu,
tuntutan zaman kian kompleks. Pesatnya keilmuan yang semakin spesifik
serta perkembangan teknologi terus menuntut pesantren tetap bisa menjadi
lembaga pendidikan yang selalu survive. Alhasil, pesantren juga membuka
pendidikan umum mulai dari SD-MI, SLTP-MTs, SMA-SMK-MA-MAK, bahkan
Perguruan Tinggi. Sungguh ini capaian yang luar biasa. Selain menjadi
lembaga pendidikan agama, pesantren juga membuka ruang untuk siapa saja
yang ingin memperdalami ilmu umum.
Pesantren bukan merupakan lembaga alternatif penitipan anak dengan berbagai alasan skeptis "Sibuk karena urusan kerja sehingga tidak bisa mengawasi anak misalnya", atau anak nakalnya tidak ketulungan maka pesantrenlah sebagai alternatifnya , walau ada pondok pesantren yang memberikan hal hal tertentu seperti Pondok Pesantren Suralaya Tasik Malaya yang dipeolopori Abah Anom, dengan metode Inabahnya menjadi sarana rehabilitasi pecandu narkoba.
Keberadaan itu ternyata tidak
membuat pesantren aman dalam memuluskan ajarannya. Munculnya
pesantren-pesantren baru yang sebenarnya berada dalam naungan aliran
Islam transnasional menjadi tantangan pesantren yang sudah lama ada.
Pesantren baru muncul dengan mengedapankan ilmu umum semata, pengetahuan
bahasa Inggris dan bahasa Arab dengan memeberi label "boarding house school" menjadi tawaran untuk menarik animo para
orang tua agar memondokkan anaknya di pesantrennya, ruh kepesantrenannya sendiripun terasa kabur.
Beberapa waktu yang lalu penulis bertemu dengan seorang guru dari sebuah Pesantren dari satu daerah di Jawa milik seorang pejabat pemerintah, beliau menceritakan konsep kepesantrenannya yang mewah, kobong santriwan/ti bukan lagi kobong namun mirip hotel dimana santri mandipun pake bathtub, bisa sambil rembahan ada air panas air dingin, lalu konsepnya "Ustadz dan guru adalah melayani santriwan/ti", santri tidak mencuci baju mereka sendiri, untuk media promosi pesantren tersebut saja bukan digit kecil yang dikeluarkan. dan berbagai cerita beliau lainnya yang serba lux lagi tengtang pondok tempat dia mengajar.
Gerakan
"Ayo Mondok" yang dipelopori oleh Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU
menjadi signal bahwa lembaga pendidikan pesantren bukan lembaga
alternatif. Akan tetapi, pesantren dengan segala bentuknya merupakan
lembaga unggulan. Memang, jika dilihat dari redaksi bahasa, gerakan
tersebut seakan-akan hanya ajakan untuk orang tua agar memondokkan
anaknya di pesantren. Ajakan tersebut diperuntukkan agar orang tua tidak
memondokkan anaknya di pesantren yang salah. Karena, meskipun menempuh
pendidikan di pesantren bukan jaminan mereka sudah berada di tempat yang tepat
gerakan "Ayo Mondok" menjadi sebuah kampanye penting agar orang tua
tidak salah menitipkan anaknya untuk belajar di pesantren.
Pentingnya Mondok
Banyak
hal kenapa orang tua penting memondokkan anaknya di pesantren yang
benar, ada beberapa hal kenapa
penting menempuh pendidikan di pesantren, tentunya pesantren yang berada
di bawah asuhan kiai-kiai dan Ulama - Ulama.yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Segala yang dipelajari
di pesantren bisa dipertanggungjawabkan. Jika kita runtut, ilmu yang
dikonsumsi alurnya jelas sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh
karenanya, kita tak perlu khawatir atas kebenaran ilmu yang dipelajari
di pesantren yang bersanad jelas dengan runtutan ujungnya pasti ke Baginda Rasululloh SAW, Karena itu sudah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad
SAW yang besok bertanggung jawab dihadapan Allah Yang Maha Esa.
Kedua,
pesantren mengajarkan kita untuk tidak berpikir oposisi-binner. Sebuah
gaya berpikir yang selalu mempertentangkan setiap perbedaan. Tak heran,
jika gerakan feminisme menjadi kekuatan matriarki yang menindas kaum
lelaki, semisal. Atau sosialisme menentang otoriterianisme, lalu menjadi
otoriterianisme dengan bentuk baru. Nah, di pesantren kita diajarkan
bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah. Perbedaan tidak perlu
dipertentangkan, akan tetapi disikapi secara arif agar bisa berjalan
beriringan.
Pelajaran sejarah yang bisa kita petik adalah saat
terjadi perang sesama sahabat Rasulullah. Ketika beberapa kelompok
memberi dukungan kepada salah satu sahabat, bahkan ada yang memilih
menyalahkan keduanya. Ulama Ahlussunnah memilih tidak berkomentar.
Diamnya Ahlussunnah bukan tanpa alasan, sikap diam tanpa komentar
merupakan pernyataan tersirat bahwa keduanya sama-sama mempunyai dasar
alasan atas perang yang mereka kobarkan. Keduanya sama-sama sahabat
Rasulullah dan perbedaan pandangan itu hal yang biasa terjadi, tak
terkecuali sahabat Nabi sendiri.
Ketiga, kita dikenalkan tentang
konsep barokah. Dalam kehidupan pesantren, barokah menjadi hal penting
yang dijadikan pegangan santri. Sering kali kita mendengar, setinggi
apapun ilmu yang didapatkan jika tidak mendapatkan barokah Kiainya, maka
ilmu yang didapat akan sia-sia. Dalam pandangan pesantren tabarrukan
atau biasa disebut barokah mempunyai makna penambahan kebagusan dari
Allah, ziyadatul khair. Artinya, setiap waktu semakin bertambah baik.
Barokah merupakan sebuah kekuatan rasa yang dimiliki oleh Kiai dan
dipercaya mampu melegitimasi ilmu yang diperoleh santri, manfaat atau
tidak. Barokah tidak semata-mata bisa hadir dari seorang Kiai. Artinya,
untuk mendapatkan titel bahwa seorang Kiai memiliki kekuatan barokah
biasanya terletak pada sejauhmana Kiai tersebut memilki karomah.
Karomah
sendiri merupakan sebuah pengetahuan yang telah mengkristal pada diri
seorang Kiai. Tentunya, ilmu yang pernah dipelajarinya telah menyatu
dengan dirinya. Nah, Kiai seperti ini akan terlihat begitu karismatik
di depan santri-santrinya dan masyarakat pada umumnya. Ternyata, hal
semacam ini tidak hanya diakui oleh kalangan pesantren. Seorang tokoh
sosiologi, Max Weber juga mengakui akan kebenaran ini. Dalam menjelaskan
rasionalisasi, Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan
dengan fenomena spiritual atau ideal. Alasannya, sebagai ciri-ciri khas
dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam.
Nah, yang semacam ini dalam pesantren biasa disebut dengan barokah dan
karomah. Sesuatu yang selama ini kita anggap mistis, ternyata hanya
persoalan rasio akal belum mampu menjangkaunya. Sebenarnya ini adalah
hal yang rasional, suatu saat bisa dibuktikan.
Keempat, dari
pesantren kita akan diajarkan bagaimana bersosial. Tanpa disadari, dalam
kehidupan santri menyimpan segudang pelajaran hidup. Hal sederhana,
semisal bagaimana santri makan bersama dengan menggunakan talam. Dari
situ kita bisa lihat, bahwa kebersamaan dalam pesantren itu sangat
diutamakan. Tanpa melihat dari mana asalnya, miskin, kaya bahkan
keturunannya. Pesantren tak pernah mengenal kasta, semua diperlakukan
sama, santri.
Kelima, selain persoalan di atas, hal paling
penting yang bisa didapat dari pesantren adalah "Akhlak". Akhlak yang
dimaksud di sini bukan sekedar persoalan etika semata. Karena etika
lebih kepada persoalan pola sikap dan pola ucap. Semisal, seorang
koruptor yang sosialnya bagus tidak bisa dikatakan berakhlak. Karena apa
yang ia lakukan tidak sesuai dengan kebenaran hatinya.
Akan
tetapi, akhlak jauh melampaui itu. Seseorang yang berakhlak, baik
tindakan, perkataan, pikiran maupun perasaannya akan berjalan secara
beriringan. Keempatnya tidak mungkin bertentangan. Contoh yang bisa kita
ambil, ketika Nabi Muhammad SAW mengutuk seseorang yang munafik.
Seperti kita mafhum, munafik adalah seorang yang ucapan dan tindakan,
pikiran serta hatinya tidak sesuai. Dari contoh itu bisa kita petik,
bahwa akhlak meliputi persoalan pola sikap, pola ucap, pola pikir dan
pola rasa (hati). Bagaimanapun juga, Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia,
tak lain dan tak bukan untuk menyempurnakan akhlak manusia, Innama
bu'itstu liutammima makarimal akhlaq.
Selasa, 14 Juni 2016
Home »
PONDOK PESANTREN
» PONDOK PESANTREN BUKAN LEMBAGA PENDIDIKAN ALTERNATIF
0 komentar:
Posting Komentar