Sebagai Upaya Menanamkan Pendidikan
Karakter kepada Generasi Bangsa
Di tengah arus globalisasi dan modernitas seperti sekarang ini, karakter dan moralitas bangsa menjadi satu dari sekian banyak persoalan utama yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indone-sia. Bagi negara-negara kapitalis, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk memasarkan berbagai produk budayanya. Selain memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, sebagian masyarakat Indonesia mempunyai sifat konsumtif dan latah sehingga sangat berpotensi dijadikan pangsa pasar yang menguntungkan bagi produk-produk dari bangsa lain.
Di tengah arus globalisasi dan modernitas seperti sekarang ini, karakter dan moralitas bangsa menjadi satu dari sekian banyak persoalan utama yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indone-sia. Bagi negara-negara kapitalis, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk memasarkan berbagai produk budayanya. Selain memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, sebagian masyarakat Indonesia mempunyai sifat konsumtif dan latah sehingga sangat berpotensi dijadikan pangsa pasar yang menguntungkan bagi produk-produk dari bangsa lain.
Meskipun tidak semua produk budaya asing menimbulkan dampak
negatif, namun hendaknya kita perlu berhati-hati dengan menyaring produk-produk
asing yang bernilai positif dan mana yang kurang bermanfaat bagi kehidupan
pribadi, keluarga, dan bangsa. Apabila tidak ada upaya untuk memilah dan
memilih, maka akan menimbulkan persoal- an di kemudian hari, salah satu yang
paling riskan adalah karak ter generasi muda Indonesia yang terancam luntur,
bahkan akan hilang. Adalah suatu kerugian besar apabila anak-anak negeri ini
tidak lagi memiliki karakter luhur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Upaya untuk menyaring, memilah, dan memilih bukan berarti menolak semua produk
budaya asing yang masuk ke negeri ini. Apabila ada produk-produk budaya asing
yang bernilai manfaat, seperti disiplin yang tinggi, kerja keras, dan lain-lain
tidak menjadi masalah jika kita menerimanya. Sebaliknya, apabila produk-produk
budaya asing itu dicuri- gai dapat menimbulkan efek yang kurang baik, dalam hal
apapun, maka sebaiknya kita lebih bijak dalam menyikapi-nya.
Indonesia bukanlah bangsa yang menutup diri dari
per- gaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Justru Indonesia harus segera
berbenah dan berupaya sekuat tenaga agar dapat bersaing dengan negara-negara
lain di berbagai sektor kehidupan, tanpa harus meninggalkan karakter dan ciri
khas lokal yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan
zaman yang terus berjalan menuju masa depan yang semakin kompleks dibutuhkan
suatu strategi yang mampu mengintegrasikan kecerdasan spiritual, intelektual,
dan emosional para genera- si bangsa. Salah satu sektor yang paling berperan
dalam hal ini adalah pendidikan baik itu pendidikan formal, informal, maupun
nonformal. Pendidikan yang baik adalah salah satu syarat utama yang harus
dipenuhi untuk menjamin eksistensi suatu bangsa agar mampu bersaing dan sejajar
dengan bangsa-bangsa lain. Tidak hanya itu, pendidikan juga sangat berperan
untuk mem- bentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi dan
seimbang antara unsur intelektual, moral, dan spiritual. Dengan pendidikan yang
bermutu dan tersistem dengan baik, maka karakter bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang unggul akan terbentuk dan terpupuk dengan baik pula.
Bagaimana- pun
pendidikan merupakan investasi peradaban manusia. Proses pendidikan sejak dini,
baik secara formal, informal, maupun nonformal, menjadi tumpuan untuk
melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Adapun karakter
kuat ini dicirikan oleh kapasitas moral seseorang, seperti kejujuran, kekhasan
kualitas seseorang yang membe- dakan dirinya dari orang lain, serta ketegaran
untuk meng- hadapi kesulitan, ketidak enakan, dan kegawatan (Hidayat,
Komaruddin & Putut Widjanarko, 2008, h. 184). Karakter bangsa yang kuat
bisa diperoleh dari sistem pen- didikan yang baik dan tidak hanya mementingkan
faktor kecerdasan intelektual semata, melainkan juga pendidikan yang dilandasi
dengan keimanan dan ketakwaan serta meng- hasilkan output yang tidak sekadar
mampu bersaing di dunia kerja, namun juga mampu menghasilkan karya yang berguna
bagi masyarakat, agama, bangsa, dan negara. Untuk mewujudkan hal itu, maka
diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik
dan keunggulan spiritual.
Pendidikan formal di sekolah meru- pakan salah
satu upaya untuk pem- bentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan mulai
jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Ada dua model penyelenggaraan
pendidi- kan yang selama ini telah berkembang di Idnonesia yaitu pendidikan
formal di sekolah dan pendidikan non formal diantaranya dilak- sanakan di
pondok pesantren. Di samping itu, pondok pesantren juga menjadi salah satu
pilihan pendidikan karena lembaga ini mengutamakan upaya pencerdasan spiritual
atau keagamaan. Dalam perkembangan- nya, sekarang ini banyak pondok pesantren
di Indonesia yang juga menyelenggarakan pendidikan formal persekolahan. Pilihan
memadukan sistem pendidikan formal formal di sekolah dan pondok pesantren ini,
karena secara umum sekolah dan pondok pesantren merupakan dua lembaga
pendidikan yang masing – masing memiliki keunggulan yang berbeda satu sama
lain. Apabila keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan, maka akan
tercipta se- buah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi mampu
menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan berkarakter.
Pesantren di Indonesia yang telah menyelenggarakan pen- didikan formal
persekolahan ini jumlahnya cukup banyak dengan kualitas yang sangat bervariasi.
Untuk itu Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Ke-
menterian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan
Diniyah dan Pondok Pesantren, Ke- menterian Agama melakukan pembinaan agar
upaya-upaya pembentukan karakter di atas menjadi lebih optimal. Perspektif
Teoritis Pengertian pendidikan secara harfiah adalah proses, cara, atau
perbuatan mendidik. Pendidikan berasal dari kata dasar didik yang berarti
memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikir- an (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, h. 352). Secara
lebih rinci, pendidikan dapat dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepriba- dian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan
martabat manusia. Secara psikologi, tujuan pendidikan adalah pembentukan
karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan
sikap hidup yang dimilikinya. Istilah karakter mempunyai beberapa pengertian.
Kamus Besar Ba- hasa Indonesia (KBBI) mengartikan karakter sebagai tabiat,
watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan
seseorang daripada yang lain (Pusat Bahasa, 2005, h. 1270). Watak sendiri dapat
dimaknai sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku, budi pekerti, serta tabiat dasar. Menurut Musfiroh (2008, h. 27),
karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motiva-
tion), dan keterampilan (skill) yang meliputi keinginan untuk melakukan hal
yang terbaik. Sedangkan menurut Semiawan (dalam Soedarsono, 1999, h. 17)
karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang yang merupakan hasil
interaksi antara faktor endogin dan faktor eksogin atau pengalaman dari seluruh
pengaruh lingkungan. Untuk menjadi manusia yang berkarakter, seseorang tidak
cukup hanya memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai moral tanpa disertai
adanya karakter bermoral. Adapun yang termasuk dalam karakter bermoral, menurut
Lickona (1992) adalah tiga komponen karakter (components of good character),
yakni pengetahuan tentang moral (moral know- ing), perasaan tentang moral
(moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Ketiga hal ini
diperlukan agar se- seorang mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus
nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti berpikir positif,
simpati, empati, jujur, religius, peduli, rendah hati, dan lain-lain.
Usia sekolah menengah pertama (kurang lebih usia
12 - 15 tahun) menjadi masa pengembangan karakter yang paling penting dalam
fase kehidupan manusia. Fase ini disebut dengan nama Period of Formal
Operation. Pada usia ini, seseorang sedang mengalami fase pencarian jatidiri
yang ditandai dengan kemampuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami
sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa memerlukan objek yang kongkret,
bahkan objek visual sekalipun. Selain itu, pada tahap Period of Formal
Operation juga sedang berkembang 7 (tujuh) kecerdasan yang disebut Multiple
Intelligences. Adapun ketujuh jenis kecerdasan itu mencakup linguistic
intelligence, logical-mathe matical intel- ligence, spatial intelligence,
bodily-kinesthetic intelligence, mu- sical intelligence,
interpersonal-intelligence, dan intrapersonal intelligence (Rosada, 2009, h.
108). Dengan demikian, pendidikan, terutama usia siswa SMP tidak bisa
mengabaikan pentingnya pembentukan karakter, atau yang kemudian dikenal sebagai
pendidikan karak- ter. Lantas apakah pendidikan karakter itu? Secara umum
pendidikan karakter adalah suatu istilah untuk menjelaskan berbagai aspek
pengajaran dan pembelajaran bagi perkem- bangan personal. Sebagaimana telah
ditulis di atas, Lickona (1992) menjelas- kan bahwa pendidikan karakter adalah
upaya penanaman dan pembentuk an karakter yang menekankan pada pent- ingnya
tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral
knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feel- ing atau perasaan tentang
moral dan moral action atau perbuatan bermoral.
Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan
proses yang ter- integrasi dengan pendidikan secara luas dan bertahap, dari
pendidikan di dalam keluarga, lembaga pendidikan (misal- nya sekolah, baik
formal, informal, atau nonformal), hingga di kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan karakter juga menjangkau proses penanaman nilai-nilai agama, budaya,
adat-istiadat, dan estetika. Dengan kata lain, pendidikan karakter adalah upaya
agar peserta didik mengenal, peduli, dan menginteranalisasi nilai-nilai
sehingga mereka dapat berperilaku sebagai insan kamil (Syafaruddin, 2012, h.
192). Dalam konteks ini, lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai
agama atau spiritual, seperti pondok pesantren, mutlak diperlukan. Jika sekolah
formal (SD, SMP, SMA, SMK, dan sejenisnya) memfokuskan sistem pendidikan- nya
pada sektor kecerdasan intelektual atau akademik, maka pondok pesantren menjadi
lembaga pendidikan yang mengutamakan pengajarannya pada sektor kecerdasan
spiri- tual dan pendalaman ajaran agama Islam. Pandangan tentang pondok
pesantren sendiri cukup bera- gam. Pondok pesantren dapat dipandang sebagai
lembaga ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, atau lembaga
pendidikan Islam. Sejak didirikan pertama kali, pesan tren memang merupakan
sebuah lembaga pendidikan yang memfokuskan peng ajaran dalam bidang agama Islam
(Widiyanta & Miftahuddin, 2009, h. 180-181). Istilah pesantren sendiri
berasal dari kata santri, yang mendapatkan imbuhan berupa awalan pe- dan
akhiran -an. Oleh karena itu, pesantren dapat dapat diartikan sebagai tempat
tinggal para santri. Arti kata santri sendiri adalah orang yang mendalami agama
Islam, atau orang yang beriba- dah dengan sungguh-sungguh, atau orang yang
saleh (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, h. 1266). Pesantren kemudian
lebih dikenal dengan sebutan yang lebih lengkap, yaitu pondok pesantren.
Pesantren disebut dengan pondok karena sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat
pendi- dikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok.
Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut
pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal dari bahasa
Arab yang berarti hotel atau asrama (Dhofier, 1994, h. 18). Sama seperti
sekolah formal, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang di
dalamnya terdapat kegiatan belajar-mengajar. Unsur-unsur yang terdapat di
lembaga pondok pesantren pun serupa dengan yang terdapat di seko- lah formal.
Ada kiai sebagai guru, santri sebagai murid, kitab sebagai buku, pondok sebagai
kelas dan asrama, pen dalaman ajaran agama (termasuk pengajaran kitab) sebagai
mata pelajaran, dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya pada
konteks pen- didikan, makna pondok pesantren pun menjadi meluas dan tidak
sempit lagi. Kuntowijoyo (1991, h. 251), menggambar- kan tempat-tempat seperti
madrasah, tempat keterampilan (kursus), universitas, gedung pertemuan, tempat
olahraga, dan sekolah umum pun terkadang menjadi unsur-unsur seperti sebuah
pondok pesantren.
Pendidikan di pondok pesantren seringkali
dikategorikan ke dalam sistem pendidikan tradisional karena lembaga ini sudah
ada sejak ratusan tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari
sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia (Mastuhu, 1994, h. 55).
Namun demikian, seiring perkembangan zaman, di Indonesia seka- rang ini banyak
pesantren yang memperbaharui konsepnya menjadi lebih modern, seperti Pondok
Pesantren Modern Islam Assalaam di Jawa Tengah, Pondok Pesantren Modern
Darussalam Gontor di Jawa Timur, Pondok Pesantren La Tansa di Jawa Barat, dan
lain sebagainya. Upaya memadukan pendidikan sekolah formal, khususnya SMP,
dengan pondok pesantren akan menghasilkan sistem pendidikan yang lebih kuat dan
lengkap. Pengembangan model pendidikan SMP berbasis pesantren sebenarnya
merupakan upaya dalam memadukan keunggulan pelaksa- naan sistem pendidikan di
sekolah dan keunggulan pelaksa- naan sistem pendidikan di pondok pesantren.
Mengapa Harus Dimulai di SMP? Pemerintah melalui kementerian terkait
sesungguhnya sudah berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan formal me- lalui
berbagai cara dan langkah yang terus disempurnakan. Upaya tersebut misalnya
dengan menyusun kurikulum yang dinamis dan fleksibel dengan penyediaan bahan
ajar yang disusun secara sisrematis sesuai dengan kompetensi yang hendak
dicapai. Strategi dan model pembelajaran pun telah dirumuskan dengan bentuk
yang variatif dan berorientasi pada efektivitas dan efisiensi proses
pembelajaran. Selain itu, peningkatan kualitas juga ditujukan untuk para
pendidik yang harus memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai dan bisa
dipertang gung jawabkan. Pemerin- tah juga mengupayakan ketersediaan sarana dan
prasarana sebagai penunjang proses pendidikan, serta sistem penge- lolaan
sekolah yang lebih profesional. Salah satu sasaran utama sekolah formal yang
akan dipadukan dengan sistem pendidikan di pesantren adalah sekolah menengah
pertama atau SMP. Mengapa demikian? karena siswa sekolah usia SMP, yaitu antara
13-15 tahun, merupakan tingkat usia yang rentan. Tingkat usia ini merupakan
usia peralihan dari masa anak-anak ke usia remaja. Usia anak SMP termasuk ke
dalam fase genital di mana pada masa ini, proses psikoseksual seseorang
mencapai “titik akhir”. Fase ini juga sering disebut dengan nama masa pubertas,
yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuh yang mengiringi rangkaian
pendewasaan, baik fisik maupun psikis. Para psikolog menyebut masa pubertas
sebagai masa yang sarat akan badai dan tekanan (storm and stress). Pada usia
ini, seseorang sudah tidak lagi dipan dang dan diperlakukan sebagai anak-anak,
namun juga belum sepenuhnya meng adopsi, apalagi mempratikkan, pola perilaku
usia dewasa (Amriel, 2008, h. 19).
Ketika mengalami masa pubertas, seseorang akan
dihadapkan pada berbagai kebutuhan akal. Zahran (dalam. Az-Zaba- lawi, 2007, h.
516) menggolongkan berbagai kebutuhan akal pada fase pubertas menjadi beberapa
jenis kebutuhan, antara lain kebutuhan berpikir dan memperluas dasar pemikir-
an serta perilaku, kebutuhan ingin mengetahui berbagai hakikat, kebutuhan ingin
mendapatkan penjelasan tentang berbagai hakikat, dan kebutuhan akan
kedisplinan. Selain itu, kebutuhan akan berbagai pengalaman baru, kebu- tuhan
untuk memenuhi kebutuhan diri dengan cara bekerja, dan kebutuhan untuk meraih
kesuksesan studi, kebutuhan untuk mengungkapkan jatidiri, kebutuhan akan
kesesuaian, kebutuhan ingin melakukan hal-hal yang menarik perha- tian dan
menantang, kebutuhan akan berbagai maklumat dan perkembangan kemampuan, kebutuhan
mendapatkan pengarahan yang bersifat memperbaiki dan mendidik, dan lain
sebagainya (Az-Zabalawi, 2007, h. 516). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa usia remaja atau usia siswa SMP adalah usia pencarian identitas dan
sangat rentan terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang cenderung negatif.
Oleh karena itu, di samping dikawal melalui pendidikan formal di sekolah,
remaja pada usia ini juga perlu diberi asupan mengenai pemahaman yang bersifat
spiritual, dalam hal ini adalah sistem pendidikan pondok pesantren. Seperti
halnya di sekolah formal, sebagaimana telah dising- gung sebelumnya bahwa
sistem pendidikan di pesantren juga memiliki beberapa keunggulan yang tentunya
memi- liki kekhasan tersendiri. Keunggulan yang dimiliki pondok pesantren
antara lain, misi pendidikannya banyak ditekan- kan pada aspek moralitas dan
pembinaan kepribadian, kultur kemandirian dan interaksi sosial dengan
masyarakat sekitar secara langsung dan berlangsung 24 jam sehari.
Selanjutnya,
penguasaan literatur klasik yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral
yang berguna bagi pengembangan peradaban yang beretika, kharisma kyai sebagai
manajer dan pengasuh lembaga pesantren menjadi- kan panutan dan teladan dalam
kehidupan sehari-hari, serta hubungan kyai dan santri yang bersifat
kekeluargaan dengan kepatuhan yang tinggi (Kemdiknas, 2011, h. 3).
Perpaduan
sistem pendidikan sekolah menengah pertama dan pondok pesantren menuntut adanya
harmonisasi antara 2 (dua) keunggulan model pendi dikan dalam satu ling- kungan
yang dikelola secara terpadu, saling mengisi, dan mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi sumber daya manusia Indo nesia yang handal. Tujuan tersebut
tentu saja baru bisa dicapai apabila ada tin dakan-tindakan kong- kret yang
dipelopori oleh pemerintah melalui kementerian terkait bersama-sama dengan
lembaga pendidikan dan masyarakat. Oleh karena itu sejak tahun 2008 Direktorat
Pembinaan SMP, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren, Kemeterian Agama dibantu oleh CERDEU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melakukan pembinaan terhadap SMP yang ada di pesantren pada berbagai provinsi
di Indonesia. Sampai dengan tahun 2014, telah ada 230 SMP Berbasis Pesantren yang
melakukan program – program kerjasama dari dua kementerian tersebut. Di antara
program yang dilaksanakan Direktorat Pembinaan SMP, Kemendikbud dalam
meningkatkan kualitas penyeleng- garaan pendidikan adalah seperti pembinaan
pada SMP-SMP reguler lainnya, diantaranya 1) pemenuhan kebutuhan sarana
prasarana sekolah seperti ruang kelas baru (RKB), uang be- lajar lain (RBL),
rehabilitasi gedung sekolah, penyediaan alat pendidikan, 2) bimbingan teknis
kepada kepala sekolah dalam penyusunan RKS dan RKAS serta pengembangan KTSP
kepada para guru, 3) pemenuhan standar pembiayaan, seperti bantuan operasional
sekolah (BOS), bantuan siswa miskin (BSM), dan beasiswa bakat dan prestasi. Di
samping itu, Direktorat Pembinaan SMP juga memberi- kaan subsidi yang dikirim dan
dikelola langsung oleh seko- lah dalam rangka pengembangan SMP Berbasis
Pesantren untuk memenuhi Standar-standar Nasional Pendidikan (SNP). Besaran
subsidi yang diberikan bervariasi tergantung pada jumlah siswa yang ada di
masing-masing SMP Berbasis Pesantren.
Dalam rangka memperkuat dan mempertajam
pelaksanaan pendidikan karakter di SMP, Direktorat Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Kemenag memotori penyusunan panduan integrasi kultur pesantren
ke dalam proses pem- belajaran, ekstra kurikuler dan manajemen sekolah. Upaya
ini juga diperkuat dengan program Direktorat Pembinaan SMP, Kemendikbud
menyelenggarakan workshop-workshop secara bertahap yang diikuti oleh para wakil
kepala sekolah bidang kurikulum, guru mata pelajaran IPA (Fisika dan Bi-
ologi), Matematika, IPS, bahasa (Indonesia dan Inggris) dari 182 SMP Berbasis
Pesantren untuk menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
bernuansa kultur pesantren yang pada intinya juga berisi nilai-nilai pendidik-
an karakter. Adapun kultur kepesantrenan yang ditekankan tersebut adalah:
Pendalaman Ilmu-ilmu Agama, Mondok, Kepatuh-an, Keteladanan, Kesalehan,
Kemandirian, Kedisiplinan, Kesederhanaan, Toleransi, Qana’ah, Rendah Hati,
Ketabahan, Kesetiakawanan/Tolong Menolong, Ketulusan, Istiqamah, Kemasyarakatan,
Kebersihan. Oleh karena itu, jika SMP berbasis pondok pesantren dikelola dengan
baik, maka hasil yang akan diperoleh pun juga berkualitas baik. Lulusan SMP
Berbasis Pesantren diharapkan bisa menjadi manusia Indonesia yang handal,
memiliki integritas intelektual, spiritual, dan emosional, serta berwatak
plural dan multikultural, menghargai hak dan kewajiban dalam kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa demi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang madani, berkarakter, serta mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain
di dunia.
Sumber : http://ditpsmp.kemdikbud.go.id/
Sumber : http://ditpsmp.kemdikbud.go.id/
0 komentar:
Posting Komentar