Sabtu, 26 Desember 2015

HUKUMLAH PESERTA DIDIK DENGAN CARA YANG MENDIDIK

JawaPos.com SAMPIT – Abdul Rahmad (26), ustaz di Pondok Pesantren Darul Amin, Jalan HM Arsyad, Sampit dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri sampit, Rabu (30/9).

Hakim yang dipimpin Alfon menyebutkan perbuatan terdakwa melanggar pasal 80 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak...Selengkapnya..


Pondok Pesantren, Sekolah, Lembaga Pendidikan bukanlah Camp Militer, pendidikan Militer jelas sangat jauh berbeda untuk sebuah pembentukan karakter, juga bukan Terali Besi atau kehidupan jalanan dimana "yang kuat atau punya wewenang dia yang berkuasa".

Setiap orang terlahir dengan keadaan yang berbeda, dan itu sunatulloh ada yang nakal ada yang baik, ada siang ada malam, ada guru ada murid dan sebaginya. Justru nilai si Pendidik akan kelihatan kualitasnya ketika dia bisa mengarahkan, dan dengan sabar bisa merubah karakter ke arah yang diharapkan oleh hukum Allah Ta'ala, juga hukum Negara.

Puluhan siswa atau mungkin ratusan yang ada di lembaga terdiri dari berbagai karakter, sikap dan sifat, yang akan jadi ujian buat seorang Pendidik untuk membinanya.

"Takut berbeda dengan segan dan hormat", Ketika seseorang merasa segan atau hormat, misalnya ketika dipandang dengan tatapanpun dia akan menunduk dan malu, jauh sekali dengan takut, ada istilah "baik di depan saya kalah tapi tunggu nanti di belakang", " tunggu nanti pembalasan saya, kalau ketemu di luar"..dan sebagainya.

Yang muncul bukannya hasil dari sebuah pendidikan melainkan kebencian dan dendam.Bukankah Rasululloh saw sendiri berda'wah dengan Ahlaknya..? Beliau saw contohkan dengan kepribadiannya yang luhur, sehingga orang orang merasa segan, hormat dan mencintai Baginda Rasululloh saw. 


ud'u ila sabili robbika bil hikmah wal mau'idhotil hasanah wa jadilhum bil lati hiya ahsan inna robbaka huwa a'lamu bi man dholla 'an sabilih wa huwa a'lamu bil muhtadin

Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan Al Hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
(QS 16 An Nahl ayat 125)

Bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak : Setiap anak berkewajiban untuk : 1. menghormati orang tua, wali, dan guru; 2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Disitu tertera kewajiban kewajiban anak, lalu pertanyaannya jika si anak ( peserta didik) melanggar pasal tersebut hukuman apa yang harus diberikan..? apa sanksinya buat anak..? dan sebaginya.

Yang jadi permasalahn adalah "hukuman yang diberikan pada peserta didik" tentunya bukan dengan kekerasan, namun ada metode - metode lain yang jauh bisa lebih mendidik dan membuat siswa segan, respect, hormat, bukan ayunan tangan, bukan pukulan rotan atau benda keras, bukan tendangan, bukan tinju yang melayang ke perut atau muka, dan sebagainya.

Kenapa tidak ketika satu siswa melanggar setelah diberikan teguran, dia kembali mengulang, lalu berikan hukuman misalnya, seorang siswa telat sholat berjama'ah, tanykan dulu alasannnya kenapa, bukannya langsung menghukumnya, lalu dia mengulangnya dan memang dia termasuk siswa/santri yang agak bandel kenapa gak di coba dihukum "kamu hafalin surah arrahman dalam seminggu harus bisa" misalnya..akan jauh lebih bermanfaat dari pada pukulan rotan.

Dan sekali lagi Wibawa dan kharisma seorang guru dimata peserta didik juga menentukan, siswa A,B,C dan seterusnya akan sangat berbeda memandang personality setiap guru, mereka akan punya asumsi masing masing.

Artinya ada feedback atau timbal balik juga, ketika guru bisa menampakan citranya, maka otomatis rasa segan akan ada pada peserta didik, tidakj perlu kok dengan ayaunan tangan, pukulan dengan benda keras atau bentuk bentuk hukuman fisik lainnya ketika seorang pendidik punya wibawa di mata peserta didiknya.

Tidak dipungkiri bahwa ada beberapa kasus yang memang lebih dari pada di pendidikan umum, misalnya orang tua sudah kewalahan akan anak tersebut, di sekolahan umumpun dia sulit diterima, sering bolos, berantem melulu atau mungkin kena narkoba, yang akhirnya Pesantrenlah sebagai alternatifnya, penangan khusus dan pendekatan lebih mendalam sangat diperlukan untuk menangani masalah ini.


Zaman sudah berubah, para guru juga harus mengikuti perkembangan dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya, salah satunya dalam memberikan hukuman. Sudah tepatkah sebagai guru hanya sekedar memberi hukuman dengan acuan agar anak jera dan kapok saja? Itu sudah model kedaluwarsa. Model mengkapokkan anak tidak lagi manjur. Anak-anak zaman sekarang sudah tidak takut, tidak menjadi jera, tidak menjadi tobat karena hukuman yang tidak tepat sasaran. Efek tidak baik yang timbul dengan hukuman yang tidak mendidik lainnya adalah mental siswa yang akan merasa dipojokan oleh guru.

Kalau zaman gurunya dulu, 30 – 40 tahun yang lalu, memang rata-rata anak zaman itu menjadi takut dan segera rajin serta berubah perilakunya dengan hukuman tulisan berulang. Kalau anak sekarang, hukuman macam itu hanya akan membuat anak memberi cap buruk pada si guru, benci pada guru tersebut dan menjadikannya makin malas belajar. Meskipun itu diberlakukan pada anak usia SD.

Mereka sudah paham dengan hukuman yang tidak jelas tujuannya apa. Mereka bisa berpikir juga, apa iya dengan disuruh menulis berkali-kali menjadikan ingat dan ulangannya langsung bagus, apalagi dengan hukuman fisik yang kelewatan? Apa iya karena takut mendadak ia rajin belajar dan ulangannya menjadi bagus? Anak-anak tidak lagi berpikir demikian, anak-anak sekarang lebih suka “diorangkan”, diperlakukan secara manusiawi dan humanis.

Sistem pengulangan, tanpa disertai pengertian dan pendekatan personal takkan mencapai sasaran perubahan perilaku belajarnya. Justru memicu perilaku berontak, menyalahkan dan kebencian pada si guru. Meskipun di depan guru dia sok penurut. Hukuman yang kreatif dan memberdayakan Menjadi guru itu tidak gampang, meskipun mengajarkan materi yang gampang.

Penerimaan setiap murid bisa berbeda-beda, daya serap dan gaya belajar setiap murid juga berbeda-beda. Mengenali murid satu-persatu tidak memungkinkan bagi kebanyakan guru.

Mereka yang sedikit kurang inilah yang membutuhkan perhatian tidak biasa. Mereka membutuhkan pengajaran yang lebih jelas, waktu lebih lama untuk dapat memahami suatu materi pelajaran. Beberapa anak seperti ini apabila diperlakukan sama rata dengan anak-anak yang mampu akan kedodoran dalam menyerap pelajaran. Murid-murid seperti ini tak cukup diajar saja, mereka butuh penjelasan lebih, butuh dimotivasi, butuh pendampingan dalam mengerjakan soal, butuh hukuman dan hadiah.

Sebagai guru harus pandai-pandai mengatasi anak-anak seperti ini, bukan sekedar menghukum kalau mereka salah, dan mengabaikan di saat mereka bertanya, lalu acuh tak acuh di saat mencapai nilai yang sedikit bagus. Sebagai guru, tentunya juga pernah menjadi murid.

Pada saat menjadi murid tentunya juga pernah mengalami kesulitan belajar. Bagaimana kita berupaya mengatasinya? Bagaimana rasanya bila di saat itu kita tidak “diorangkan”? Itulah dasar dalam menyikapi murid-murid dalam belajar. Sehingga sebelum memberi hukuman pada anak didik, perlu bagi guru untuk memikirkan apakah hukuman ini akan memberi dampak positif bagi anak yang bersangkutan? Ada banyak hukuman kreatif yang dapat memberdayakan, antara lain : Memberi anak waktu tambahan pelajaran untuk memberi penjelasan lebih dan mengenali kesulitan anak.

Memberi tugas mengerjakan soal-soal yang hasilnya akan mendapat nilai, sebagai tambahan nilai yang kurang. Memberi tantangan berupa kuis yang ada hadiahnya. Memberi tugas membuat rangkuman. Memberi hadiah pada anak-anak yang nilainya mengalami lompatan nilai tertentu. Memberi konseling atau dialog untuk mencari tahu, kesulitan yang dialaminya dengan disertai pemberian tugas yang dipantau. Ada banyak guru yang menjadi favorit para muridnya karena mereka adalah guru-guru yang mau memperlakukan para murid secara manusiawi.

Oleh sebab itu guru-guru dengan sikap otoriter tak lagi mendapat tempat di hati murid. Murid-murid yang diperlakukan secara humanis dan ada pendekatan personal atas masalah belajarnya biasanya justru makin respek dan timbul semangat belajarnya.

Dengan cara ini justru lebih mudah bagi guru untuk membantunya mengatasi masalah belajarnya. Memberi pengertian dan pengajaran yang tepat lebih bermanfaat daripada pengulangan yang melelahkan, membosankan dan membuat anak menjadi jengkel serta tak jelas juntrungannya. Sebisa mungkin tidak memberi hukuman, bila memang diperlukan berilah pembinaan. Mengenali murid dengan kelebihan dan kekurangannya secara baik akan memudahkan guru dalam menangani masalah anak yang bersangkutan. Hukuman yang memberi efek positif adalah ketika murid justru bersyukur gurunya memberikan hukuman tersebut padanya, sebab tanpa adanya hukuman itu, ia tak akan berubah menjadi lebih baik.

Bukan tidak mungkin pula tindakan otoriter Pendidik akan terus membekas hingga siswa tersebut keluar dari sekolah, pun sebaliknya Guru yang memperlakukan siswanya secara manusiawi akan terus dikenang baik dan menjadi panutan buat siswa..

0 komentar:

Posting Komentar

PENERIMAAN SISWA BARU

Yayasan Pendidikan Dan Sosial Pondok Pesantren Menerima Pendaftaran Siswa Baru Mulai Pertengahan Mei 2016, Untuk Tahun Ajaran 2016-2017 Jenjang Pendidikan : SMP Berbasis Pesantren Hidayatus Saalikin, Madrasah Aliyah Juga Umum ( SMK-SMA) Dengan ketentuan mentaati dan patuh pada tata tertib Pondok Pesantren...... BACA SELENGKAPNYA